Barangkali aku tak akan singgah ke kotamu, kalau hanya menyusuri kenangan pada sebuah jalan. Berhenti dekat persimpangan. Melihat-lihat keramaian pedagang kaki lima, aneka barang di etalase toko, juga para penjual makanan.Â
Kita tak membeli apa-apa, tak makan apa-apa. Oh, ya, waktu itu -- mungkin -- sekitar jam 8 malam.Â
Malam berikutnya kita juga tak jadi menonton film. Kau tak suka Annabelle (seram, katamu), sedang aku menunggu aksi Jacky Chan terbaru. Padahal kita sudah membeli jagung yang 'meledak', keluar ritmis dari mesin yang lucu, dalam kotak kaca. Dan minuman bersoda. Tiket bioskopnya bagaimana? Buang saja, katamu.Â
Lalu kita berjalan, tanpa percakapan. Sebenarnya banyak yang hendak kukatakan, dan mungkin tak sedikit pula yang ingin kauucapkan.Â
Masing-masing dari kita merasakan sunyi di keriuhan lalu-lintas. Dan dada kita begitu ramai dalam diam. Sepertinya ada jarak kenapa kita begitu.Â
Hubungan yang tak pernah beranjak, barangkali. Jenuh, mungkin. Takada lagi rasa cinta? Kurasa, tidak.Â
Kau begitu ambisi mengejar karirmu. Kulihat beberapa kali kau menjadi narasumber di sebuah acara televisi. Kau pun diperbincangkan di media sosial. Mm, kau mulai menjadi pesohor.Â
Aku, aku melanjutkan pendidikanku. Aku juga tidak tahu, apakah ini juga sebuah ambisi atau hanya sebagai pelarian.Â
Dan hubungan kita semakin dingin.Â
Kau berlari, aku menghilang. Atau, aku yang tak pernah datang, dan kau yang selalu menghindar. Tapi apa pentingnya bermacam ungkapan itu. Tidak perlu dibahas lagi.Â