Kemudian aku membuat janji. Ingkar. Kau marah. Aku berjanji lagi. Ingkar lagi. Kau mengancam akan meninggalkan diriku. Ufp, jangan!Â
Akhirnya, pada suatu hari yang lain, kupraktekkan apa yang pernah kubaca dalam novel percintaan. Atau adegan dalam sinetron kejar tayang: "Maukah nanti kau menjadi ibu untuk anakku, anakmu, anak kita?"Â
Kauterpana, terharu, menangis? Nggak!Â
Kau malah tertawa seraya memeletkan lidahmu. Aku mengejarmu, kau menghindar.Â
Dan pada suatu titik kau tidak dapat lari lagi. Ada tenda di depan rumahmu. Ada kursi pelaminan. Ada seperangkat kursi dan meja yang di atasnya banyak hidangan. Ada pencatat pernikahan. Ada dua orang saksi. Ada kita dalam lingkaran keluarga, kerabat, dan handai tolan. Ada, tentu, aku menjawab dengan tegas ucapan ayahmu.Â
Kali ini kau menangis.Â
***
Suatu pagi, pada hari ke-931 -- dihitung sejak awal kita menikah -- kulihat kau sedang memandikan Rindu, anak pertama kita. Aku memanaskan mesin motor, bersiap-siap untuk berangkat kerja.Â
Seperti biasa, sebelum berangkat kerja, Rindu akan kubawa keliling komplek perumahan. Gadis kecil 19 bulan itu sudah pandai berjalan. Berbicara sudah cukup lancar, walaupun masih cadel.Â
Lalu aku akan menciumi pipi Rindu, menghidu wangi bedak juga aroma minyak kayu putih pada tubuhnya. Dan kau mengantarku berangkat kerja dengan senyuman.Â
***