Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah yang Manis

21 Juni 2021   13:22 Diperbarui: 21 Juni 2021   14:16 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku melihatmu pada suatu pagi, dalam ingatan yang lampau. Waktu itu awal kita membuat cerita. Menghitung, berapa lama embun bertengger di ujung daun. Matahari tidaklah luar biasa. 

Kita berjalan. Berjalan seperti biasa mengisi hari-hari. Aku tidak ingat, apakah aku pernah mengatakan, 'I Love you' kepadamu. Yang pasti, aku menganggapmu sebagai kekasihku. 

Kau? Kurasa cukup dengan melihat cara kau memandangku, mencubit perutku dengan gemas bila kau sedang kesal. O, ya, satu lagi. Ada fotoku dipasang di dinding hp-mu. 

Tapi ada masa-masa ingatanku terlalu buruk. Suatu ketika aku lupa dengan janjiku, mengajakmu nonton film yang tak terlalu romantis. Kau sedikit merajuk. 

Aku menawarkanmu untuk menghabiskan malam. Tapi kau kehilangan selera menghabiskan sekerat kecil ayam goreng di Warung Amerika. Seharusnya kau kuajak menikmati nasi goreng di pinggir jalan. Siapa tahu ada pengamen yang datang mendendangkan lagu cinta. Meskipun dengan suara yang dipas-paskan. 

Bagaimana kalau kita menyusuri trotoar? Kau mengangguk. 

Sudah pukul 11 malam. 

Udara terasa dingin. Aku menyampirkan jaketku untuk kaukenakan. Kepengapan polusi mulai kurang. Pun, lalu lintas kendaraan terlihat lengang. 

Kau mengabadikan sudut-sudut jalan lewat hp-mu. Berswafoto di sebuah jembatan penyebrangan. Untuk apa? Iseng, jawabmu. 

Kau kuantar pulang ke rumah. Di samping garasi kita melakukan ciuman yang panjang. Gerakan tanganku terhenti saat terdengar suara batuk dari dalam rumah. 

Kemudian ...!                                 

Kemudian aku membuat janji. Ingkar. Kau marah. Aku berjanji lagi. Ingkar lagi. Kau mengancam akan meninggalkan diriku. Ufp, jangan! 

Akhirnya, pada suatu hari yang lain, kupraktekkan apa yang pernah kubaca dalam novel percintaan. Atau adegan dalam sinetron kejar tayang: "Maukah nanti kau menjadi ibu untuk anakku, anakmu, anak kita?" 

Kauterpana, terharu, menangis? Nggak! 

Kau malah tertawa seraya memeletkan lidahmu. Aku mengejarmu, kau menghindar. 

Dan pada suatu titik kau tidak dapat lari lagi. Ada tenda di depan rumahmu. Ada kursi pelaminan. Ada seperangkat kursi dan meja yang di atasnya banyak hidangan. Ada pencatat pernikahan. Ada dua orang saksi. Ada kita dalam lingkaran keluarga, kerabat, dan handai tolan. Ada, tentu, aku menjawab dengan tegas ucapan ayahmu. 

Kali ini kau menangis. 

***

Suatu pagi, pada hari ke-931 -- dihitung sejak awal kita menikah -- kulihat kau sedang memandikan Rindu, anak pertama kita. Aku memanaskan mesin motor, bersiap-siap untuk berangkat kerja. 

Seperti biasa, sebelum berangkat kerja, Rindu akan kubawa keliling komplek perumahan. Gadis kecil 19 bulan itu sudah pandai berjalan. Berbicara sudah cukup lancar, walaupun masih cadel. 

Lalu aku akan menciumi pipi Rindu, menghidu wangi bedak juga aroma minyak kayu putih pada tubuhnya. Dan kau mengantarku berangkat kerja dengan senyuman. 

***

Pagi lagi. Aku memanaskan motor di depan rumah yang kita miliki lewat cicilan kredit. Kau sibuk memandikan Rindu dan Bagus -- anak kedua kita. 

Ini adalah tahun kelima pernikahan kita. 

Masih tetap membawa keliling mereka sebelum aku berangkat kerja. Masih menciumi pipi mereka, menghidu wangi bedak dan aroma minyak kayu putih. Masih dengan senyuman kau mengantarku berangkat kerja. 

***

Tanpa terasa sudah melewati tahun keenam pernikahan kita. 

Seharian tadi aku bermain dengan anak-anak. Mereka berdua naik di atas punggungku. Aku merangkak seolah-olah menjadi kuda. 

Malamnya kau mendongeng. Mereka tidur berbantalan lengan kita. 

"Eh, piring-piring belum aku cuci," katamu seperti tersadar. 

"Besok saja," cegahku. 

Kau menatapku, tersenyum. Mafhum. 

Aku bangkit, beranjak dari tempat tidur. Mematikan lampu. 

***

Lebakwana, Juni 2021. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun