Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menggoda Jakarta

24 November 2020   08:35 Diperbarui: 24 November 2020   08:45 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Foto oleh Pegah/ Pexels. 

Jakarta adalah aroma parfum. Menguar setiap pagi di stasiun, saat menunggu kereta yang akan membawanya ke pusat kota.

Namun, pagi ini agak berbeda. Selain aroma parfum yang yang spesial, busana terbaru, juga ada rasa debar dibawanya dari rumah. Dan pipi yang memerah. "Aku mungkin pulangnya agak malam, ada rapat. Juga pekerjaan kemarin belum selesai," kata Jakarta kepada suaminya. 

Jakarta, atau yang biasa disapa Tata, hanya melihat suaminya mengangguk. Suaminya percaya karena, memang, selama ini Jakarta beberapa kali dilihatnya pulang larut malam. 

Sungguhpun begitu tetap saja Jakarta takbisa meredakan gemuruh dadanya. Kembali mukanya memerah. 

Ini terkait Rudy. 

***

Rudy memang bukan teman sekantor, tapi kantornya satu gedung dengan Tata. Hanya beda lantai. Dari sanalah bermula. 

Bersirobok di lobi, satu lift saat ke kantor masing-masing, dan bercakap-cakap ringan seusai makan di kantin. Juga, tentu, bertukar nomer hp. 

Biasa saja. 

Tapi kemudian tidak hanya sampai di situ. Kebersamaan semakin sering. Terlebih bila pulang kantor lebih cepat dari biasanya. Mereka jalan bersama, ke mal, makan, atau nonton film. 

Dan Rudy begitu percaya diri menggandeng tangan Jakarta. Juga berani di kegelapan bioskop tangannya menyelusup ke balik blus Jakarta. 

Ia ingin menepis. Tapi ada sensasi yang lain. Makanya Jakarta hanya bersandar di bahu Rudy. Menikmati. 

Dan semakin jauh. Semakin tenggelam. Walaupun ia tahu kalau Rudy juga sudah mempunyai istri. Cantik pula. 

Aneh, kini ia mulai membanding-bandingkan. Perut suaminya yang mulai gendut, kaku, nggak romantis. Dan keliaran Rudy mampu menutupi dan menjawabnya. 

Jakarta sendiri juga melihat banyak teman-teman sekantornya berbuat hal serupa. Bukannya mereka tak mencintai pasangan masing-masing di rumah, tapi seperti halnya dirinya, mungkin semacam mencari petualangan baru. Sensasi yang lain. 

Dan mereka pintar mencari alasan, dibuat sewajar mungkin. Entah rapat, tugas ke luar kota, dan banyak lagi alasan lainnya. Tugas keluar kota tiga hari, dikatakan seminggu. Dan suasana kota yang sering macet, juga menjadi alasan penguat yang lain, bila terlambat pulang ke rumah. 

Memang tidak terlalu sering. Tapi bila masing-masing merasa jenuh di rumah, maka jalan itu selalu ada. 

***

Kini Jakarta sudah berada di kereta api comutter line, menuju stasiun di mana nanti Rudy akan menjemputnya. Sebenarnya hari ini kantornya sedang libur. Dan ini ia manfaatkan untuk bertemu lagi dengan Rudy. 

Selalu ada debar. Meskipun ia sudah beberapa kali melakukan, tapi Jakarta merasakan sensasi yang berbeda-beda. 

Bagaimana bersandiwara di hadapan pasangan masing-masing, rasa ketakutan bila ketahuan, itu semua memacu adrenalin. Sensasi yang candu, membuat ketagihan. 

Baru saja ia menginjak lantai peron, hape-nya berbunyi. Rudy? O, bukan. Dari suaminya. Video call! 

Ada apa? Tak biasanya suaminya seperti ini. Jakarta berdebar. Tapi kemudian yang terlihat gadis kecilnya. Anaknya yang baru masuk sekolah TK itu meminjam hape ayahnya. 

Terlihat wajah gadis kecilnya yang polos, matanya bulat bergerak-gerak lucu. Ditambah ada giginya yang ompong, tambah menggemaskan bila ia tertawa. Gadis kecilnya memesan, agar ia dibawakan coklat dan es krim bila ia pulang nanti. 

Jakarta mengiyakan. Tak lupa, "daa...!" Dan cium jauh. 

Tapi kemudian yang dirasakan Jakarta, tubuhnya mendadak lemas. Tengkuknya terasa dingin, berkeringat. Tawa dan mata polos gadis kecilnya seperti berulang-ulang menghantam kepalanya. 

Jakarta gemetar. Ia terdiam di bangku peron cukup lama. Bunyi hape - - panggilan dari Rudy - -  tak ia hiraukan. 

Begitu melihat ada kereta menuju ke daerah tempat tinggalnya, Jakarta langsung melompat. Ada sedikit perasaan lega. Juga, rasa bersalah. 

Selama ini ia mengkhianati suaminya, walau sedikit ada rasa takut, tapi ia menjalani begitu ringan. Ia juga tak terlalu percaya, bahwa suaminya jujur seratus persen. Di belakangnya, siapa yang tahu? 

Tapi terhadap tawa polos gadis kecilnya, mata bulatnya, Jakarta taksanggup. Ia takingin darah khianat mengalir dalam tubuh gadis kecilnya. 

Nanti setibanya di rumah tentu suaminya bertanya, kenapa pulang cepat. Ah, untuk soal ini ia sudah terlatih untuk menjawabnya. Coklat dan es krim untuk gadis kecilnya? O, tentu. 

Ketika Rudy memanggil lagi lewat hape, Jakarta hanya membalas lewat WA, "Sori Rud, gua nggak bisa. Besok-besok jangan ketemu gua lagi!" 

***

Lebakwana, November 2020.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun