Baru saja ia menginjak lantai peron, hape-nya berbunyi. Rudy? O, bukan. Dari suaminya. Video call!Â
Ada apa? Tak biasanya suaminya seperti ini. Jakarta berdebar. Tapi kemudian yang terlihat gadis kecilnya. Anaknya yang baru masuk sekolah TK itu meminjam hape ayahnya.Â
Terlihat wajah gadis kecilnya yang polos, matanya bulat bergerak-gerak lucu. Ditambah ada giginya yang ompong, tambah menggemaskan bila ia tertawa. Gadis kecilnya memesan, agar ia dibawakan coklat dan es krim bila ia pulang nanti.Â
Jakarta mengiyakan. Tak lupa, "daa...!" Dan cium jauh.Â
Tapi kemudian yang dirasakan Jakarta, tubuhnya mendadak lemas. Tengkuknya terasa dingin, berkeringat. Tawa dan mata polos gadis kecilnya seperti berulang-ulang menghantam kepalanya.Â
Jakarta gemetar. Ia terdiam di bangku peron cukup lama. Bunyi hape - - panggilan dari Rudy - - Â tak ia hiraukan.Â
Begitu melihat ada kereta menuju ke daerah tempat tinggalnya, Jakarta langsung melompat. Ada sedikit perasaan lega. Juga, rasa bersalah.Â
Selama ini ia mengkhianati suaminya, walau sedikit ada rasa takut, tapi ia menjalani begitu ringan. Ia juga tak terlalu percaya, bahwa suaminya jujur seratus persen. Di belakangnya, siapa yang tahu?Â
Tapi terhadap tawa polos gadis kecilnya, mata bulatnya, Jakarta taksanggup. Ia takingin darah khianat mengalir dalam tubuh gadis kecilnya.Â
Nanti setibanya di rumah tentu suaminya bertanya, kenapa pulang cepat. Ah, untuk soal ini ia sudah terlatih untuk menjawabnya. Coklat dan es krim untuk gadis kecilnya? O, tentu.Â
Ketika Rudy memanggil lagi lewat hape, Jakarta hanya membalas lewat WA, "Sori Rud, gua nggak bisa. Besok-besok jangan ketemu gua lagi!"Â