Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Jadilah Pemberontak dalam Menulis Puisi

2 November 2020   06:34 Diperbarui: 2 November 2020   19:29 1328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Carola68 dari Pixabay

Salah satu ciri penulis puisi yang baik adalah seorang pemberontak, pemberontak kata-kata. Dia harus bisa menciptakan ungkapan atau diksi yang baru. Itu bukan berarti harus berkata-kata aneh, atau menganehkan kata-kata. Tapi bagaimana ia dengan kata-kata biasa bisa dirangkai menjadi ungkapan yang tak biasa, menjadi diksi yang menarik. 

Puisi, pada dasarnya ungkapan rasa, alat penyampai pesan dengan meringkas peristiwa dengan kata-kata puitis. Lima halaman peristiwa bisa diringkas lewat puisi dengan hanya satu kalimat atau beberapa kata. 

Jakarta, dengan beribu-ribu persoalan dapat diringkas dengan satu kata puitis: Neraka! Atau ungkapan klasik, sekejam-kejamnya ibu tiri, lebih kejam lagi ibu kota. Bagi yang sukses mungkin menyebut dengan kata, surga. 

Dalam berpuisi juga bukan sekadar memindahkan peristiwa, lalu dipenggal-penggal beberapa bait seolah-olah puisi. Dia harus memperhatikan rima, dan ketika dibaca, kalimat itu seperti berayun. 

Rima juga jangan diartikan sekadar persamaan bunyi, tapi bagaimana kita memadupadankan kata menjadi frasa yang menarik. 

Puisi juga adalah permainan bunyi, kata Joko Pinurbo. 

Ada penyair menulis kata "cinta'', tapi ada penulis lain menyebut, "aku ingin selalu berada dalam kepalamu." "Aku ingin ke barat," kata sebuah puisi. Tapi ada puisi lain dengan frasa, "Aku ingin pergi ke tempat matahari terbenam."

Banyak pilihan. Dan itu tidak ada kata-kata yang aneh. 

Memang ada puisi yang ditulis dengan diksi yang lugas, seperti puisi-puisi protes atau kritik sosial, karena agar mudah dimengerti. Tapi kalau tidak hati-hati, ia hanya sekadar puisi caci-maki. 

Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri. Foto diolah dari Wikipedia dan Unpaders.id 
Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri. Foto diolah dari Wikipedia dan Unpaders.id 

Puisi adalah salah bentuk seni. Dan seni itu indah. 

Ada contoh di bawah ini:

Aku pergi ke pasar
Membeli ikan untuk dibakar 
Dimakan sambil berkelakar 

Apakah itu puisi? Ya, puisi. Adakah rima? Ya, ada, dengan bunyi 'ar'. Apakah itu indah? Itu persoalannya. 

***

Chairil Anwar, sang Pemberontak. 

Puisi-puisi pada era Angkatan Balai Pustaka atau Pujangga Baru masih terpengaruh dengan gaya puisi lama, seperti pantun, seloka, atau gurindam. Masih terikat dengan bait. 

Datanglah Chairil Anwar. Ia mengacak-acak semua itu, "... Meradang terjang.... Berlari, berlari..., hingga hilang luka perih...," kata Chairil dalam sajak "Aku" - nya. 

Memang masih ada rima, tapi tidak ditentukan setiap bait harus ada berapa baris. Tapi kita tak perlu pula "ngesok" seperti Chairil: "Yang bukan penyair tidak boleh ambil bagian."

Chairil Anwar adalah pemberontak. Bagaimana ia begitu bebas, 'liar', menuangkan diksi pada puisi-puisinya. Tapi keindahannya tetap terjaga. 

Hidup Chairil boleh singkat ("... Karet, karet...kuburku y a d..."), tapi gema puisinya begitu panjang, hingga kini. Bahkan gaya berpuisi Chairil ditiru oleh banyak penyair sesudahnya. 

Harian Kompas pernah menurunkan laporan khusus membahas lirik dalam puisi-puisi Chairil Anwar. Bagaimana judul puisinya, bagian dari larik puisinya, menjadi idiom, ungkapan, dan dikutip menjadi warna untuk tulisan-tulisan para penulis sesudahnya, baik fiksi maupun nonfiksi. 

Aku ingin hidup seribu tahun lagi; Sekali berarti kemudian mati; Hidup hanya menunda kekalahan, dan lain-lain. Itu contoh-contoh lirik dalam puisi Chairil Anwar. 

Dunia ini panggung sandiwara; Kembalikan Indonesia padaku; Ada anak bertanya pada bapaknya; Sajadah panjang; Huruf-huruf sedih, sesak nafas, geram dan naik darah (Taufik Ismail). Catatan: Selama ini orang mengenal lagu "Panggung Sandiwara" dinyanyikan Godbless, padahal liriknya itu ditulis Taufik Ismail.

Sangkar besi tak bisa mengubah rajawali menjadi seekor burung nuri (WS Rendra). 

Aku ingin mencintaimu secara sederhana (Sapardi Djoko Damono)

Hanya satu kata: Lawan!  (Wiji Thukul).

***

Mantra, puisi gelap; Sutardji Calzoum Bachri. 

Kemunculan Sutardji Calzoum Bachri --yang dijuluki Presiden Puisi-- adalah pemberontak yang lain. Ia mengusung kredo: membebaskan kata dari penjajahan makna. Tardji menghidupkan lagi sajak-sajak mantra, dengan diberi ruh kekinian. 

Ada yang menyebut, bila Chairil Anwar adalah mata kanan sastra Indonesia, maka Sutardji Calzoum Bachri mata kirinya. 

Sutardji juga yang mempopulerkan istilah 'puisi gelap'. Ini ia tuduhkan pada para penyair muda. Tentu juga para penyair itu tak terima. Dan ini membuat polemik di Harian Republika. 

Akhirnya Tardji mengakui, tak ada puisi gelap dan puisi terang. Yang ada puisi bagus dan puisi jelek. Tardji juga bersepakat, bahwa puisi-puisi mantranya pada dasarnya adalah puisi gelap. 

***

Sajak-sajak urban. 

Boleh dibilang Afrizal Malna pelopornya. Bagaimana ia memasukkan keseharian orang-orang urban ( kota ) dalam puisi-puisinya. Ia menulis dengan memasukkan televisi, kulkas, styrofoam, dan idiom-idiom urban dalam puisinya, dan tetap menarik. "Aku takut ada sikat gigi lain dalam kamar mandiku", kata Afrizal dalam salah satu puisinya. 

Ada pengamat sastra menyebut puisi-puisi Afrizal sebagai puisi 'berpintu banyak'. Maksudnya, puisi-puisi Afrizal Malna dapat dibaca dari bait mana saja. 

***

Dan kini di era milenial, para penyair membuat diksi-diksi baru. Laptop, gawai, linimasa, dan istilah-istilah grup percakapan, dimasukkan dalam puisi-puisi mereka. 

Mereka adalah para pemberontak, pada zamannya. Seperti kata Chairil: Semua perlu dicatat, semua dapat tempat. 

Pilihan ada pada kita. Dicatat sebagai pemberontak berikutnya, atau hanya mendapat tempat sebagai epigon. 

Yuk, sama-sama belajar. 

***

Lebakwana, Oktober 2020. 

Daftar baca: Kompas, Republika, Wikipedia, sajak-sajak Chairil Anwar, Taufik Ismail, Sapardi Djoko Damono, WS Rendra, Wiji Thukul, Afrizal Malna, dan lain-lain. 

Catatan. 

Artikel ini ditulis bukanlah ditulis dengan penelitian yang njelimet. Ini adalah pendapat pribadi berdasarkan rangkuman beberapa pendapat yang tersisa sedikit dalam ingatan. Tentu menyisakan ruang. Silakan diisi, ditambah atau dikurangi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun