Ada contoh di bawah ini:
Aku pergi ke pasar
Membeli ikan untuk dibakarÂ
Dimakan sambil berkelakarÂ
Apakah itu puisi? Ya, puisi. Adakah rima? Ya, ada, dengan bunyi 'ar'. Apakah itu indah? Itu persoalannya.Â
***
Chairil Anwar, sang Pemberontak.Â
Puisi-puisi pada era Angkatan Balai Pustaka atau Pujangga Baru masih terpengaruh dengan gaya puisi lama, seperti pantun, seloka, atau gurindam. Masih terikat dengan bait.Â
Datanglah Chairil Anwar. Ia mengacak-acak semua itu, "... Meradang terjang.... Berlari, berlari..., hingga hilang luka perih...," kata Chairil dalam sajak "Aku" - nya.Â
Memang masih ada rima, tapi tidak ditentukan setiap bait harus ada berapa baris. Tapi kita tak perlu pula "ngesok" seperti Chairil: "Yang bukan penyair tidak boleh ambil bagian."
Chairil Anwar adalah pemberontak. Bagaimana ia begitu bebas, 'liar', menuangkan diksi pada puisi-puisinya. Tapi keindahannya tetap terjaga.Â
Hidup Chairil boleh singkat ("... Karet, karet...kuburku y a d..."), tapi gema puisinya begitu panjang, hingga kini. Bahkan gaya berpuisi Chairil ditiru oleh banyak penyair sesudahnya.Â
Harian Kompas pernah menurunkan laporan khusus membahas lirik dalam puisi-puisi Chairil Anwar. Bagaimana judul puisinya, bagian dari larik puisinya, menjadi idiom, ungkapan, dan dikutip menjadi warna untuk tulisan-tulisan para penulis sesudahnya, baik fiksi maupun nonfiksi.Â