Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kalau Kamu Indonesia, Coba Nyanyikan Lagu Indonesia Raya

26 Agustus 2020   20:40 Diperbarui: 26 Agustus 2020   20:35 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Foto oleh Marta Dzedyshko/ Pexels 

Namaku Hani. Di rumah aku dipanggil Ing, I-ing. 

I-ing? Cina? Memang kenapa kalau Cina? Cina, Tionghoa, Tiongkok, Tionggoan, apa bedanya? 

Tapi memang ada bedanya. 

Itu semenjak aku bisa mengingat, saat aku didaftarkan ke SD Negeri. Guru yang menerima pendaftaran melihat Mami secara seksama. 

"Kok didaftarin ke SD Negeri, biasanya orang Cina ke sekolah swasta."

Mami hanya tersenyum. 

Kemudian hari-hari selanjutnya, aku melihat semakin berbeda. Entah kenapa, ada temanku selalu menggangguku: dari mencoret-coret bukuku, mencubit, hingga meminta uang padaku. Padahal aku tak pernah membawa uang jajan. Kami dari keluarga miskin. 

Atau teman-temanku mengata-ngatai,   

"Cina loleng, makan babi setengah kaleng... "

Aku hanya bisa menangis, mengadukan kepada Mami. Mami menanggapi dengan tertawa pelan. 

"Kita memang Cina, keturunan Cina. Tapi kita Indonesia, karena kita terlahir di sini. Mami aja nggak bisa bahasa Cina, juga Papimu."

"Makan babi setengah kaleng?" 

Kembali Mami tertawa. Aku merasakan tawa Mami seperti dipaksakan. 

"Ya, nggaklah. Kita bukan orang kaya, paling Mami membeli setengah kilo. Itu juga, belum tentu dua bulan sekali," terang Mami. 

Handoko, koko-ku, juga sering dirisak oleh kawan-kawannya di sekolah. Aku dan kakak lekakiku itu, sebenarnya sudah nggak tahan, ingin pindah sekolah. Tapi itu mana mungkin, karena untuk mengurus segala macamnya tentu mengeluarkan biaya. Papi sendiri hanya sebagai penjual susu murni keliling. Dikemas dalam botol-botol, dan Papi menjualnya di daerah pecinan ( perkampungan orang-orang Cina ). Sedang Mami membuat kue-kue, dititipkan di warung warung. 

Tapi ada yang sulit aku lupakan. 

Suatu hari, sepulang sekolah, aku melihat dua orang lelaki berbadan tegap keluar dari rumahku. Mereka berpakaian seragam. Masih sempat kutangkap suara mereka,  "Sial kita hari ini. Nggak tahunya Cina melarat. Tapi lumayan, hahaha..., dapat berapa?" 

Saat aku masuk ke rumah, buru-buru Mami menghapus air matanya. Kulihat mata Papi memerah. Belakangan kemudian aku tahu, Papi dituduh menjual ganja. Papi sendiri tak mengerti, mengapa ada bungkusan ganja dalam keranjang susunya. 

Mami mengiba-iba, agar Papi tak 'dibawa'. Mami sampai memecahkan celengan, dan uangnya diberikan kepada dua orang lelaki berbadan tegap itu. Padahal uang itu dikumpulkan untuk persiapan biaya Handoko saat masuk SMA nanti. 

Aku sendiri lama-lama bisa tahan, dan tak peduli, dengan orang-orang yang mengataiku, "Cina, Cina...!" Tapi suatu ketika aku terjebak pada situasi, yang aku sendiri tidak bisa menghindarinya.

Aku dicegat saat menuju gang rumahku. Orang-orang ini -  aku tahu ada yang sudah berkeluarga  - memang sering menggangguku, tapi sebatas memanggilku, "Cina!". Tapi sekali ini mereka seperti sengaja menahanku. 

Mereka tertawa-tawa mengelilingiku. "Cina," kata salah satu dari mereka. 

"Aku Indonesia," protesku. 

"Kalau Indonesia, bisa nggak nyanyiin lagu Indonesia Raya?"

"Iya, ya, nyanyi Indonesia raya!" mereka tertawa-tawa. 

"Nggak mau."

"Kalau nggak mau, nggak boleh pulang."

Kembali suara mereka riuh oleh tawa. 

"Nyanyi, nyanyi...!"

Antara takut, sedih, marah, aku akhirnya mau juga memenuhi permintaan mereka. 

"Indonesia tanah airku...!"

Karena gemetar, suaraku yang keluar terdengar pecah, serak. Tak terasa air mataku keluar. 

Melihat aku bernyanyi, orang-orang yang mengelilingi semakin keras tertawanya. Juga, sampai keluar air mata. 

***

Cilegon, Agustus 2020. 

Catatan. 

Cerita ini hanya fiksi belaka. Kalau ada kesamaan tokoh, peristiwa, itu hanya kebetulan saja. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun