"Maafkan aku juga," suara istriku. "Ternyata bekerja di luar begitu mengerikan. Dua kali aku hampir terserempet motor, sekali terpeleset di tangga saat akan mengejar kereta. Di luar ternyata begitu buas."
Diam.
Seperti dikomando kami saling memutar badan, kami bertatapan. Kulihat mata istriku basah, ia menangis.Â
Kataku, "Bagaimana kalau kita seperti semula, kau di rumah, aku kembali bekerja di luar. Aku janji, aku tak marah lagi kalau kau terlambat membuat kopi pagi hari. Juga tak menyalahkanmu kalau rumah sedikit berantakan, anak-anak belum mandi. Dan memaklumi kalau tubuhmu masih bau asam, saat aku pulang kerja. Mungkin banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan, hingga kau terlambat mandi.Â
"Kamu mau?"
"Ya. Aku juga minta maaf, karena sering marah kalau kau terlambat pulang kerja. Baru kusadari suasana kota ini begitu macet, saat berangkat  atau pulang kerja. Aku juga tak akan menuduh, kalau kau telah selingkuh dengan perempuan lain. Dan memaklumi kalau kau jarang mengajak anak-anak jalan-jalan. Badanmu tentu terlalu lelah setelah seharian bekerja," kata istriku.Â
Aku menghapus air mata istriku, dan mengecup keningnya. Kami berpelukan, seperti ingin melebur dan memaafkan kesalahan masing-masing.Â
Aku bangun sebentar. Kumatikan lampu.Â
Untuk selanjutnya, maaf, aku tidak bisa cerita.Â
***
Cilegon, Juli 2020.Â