Rumah belum beres anak-anak sudah pulang dari sekolah. Mereka kesal, lapar, tapi aku baru memasak nasi. Anakku yang paling kecil menangis. Aku marah, tangisnya bertambah keras.Â
Malam istriku terlambat pulang. Aku marah-marah. Istriku tak terima, lebih marah lagi. Rumah seperti kapal pecah, anak-anak tak terurus, kata istriku tak kalah sengit.Â
Belum dua minggu berat badanku susut dua kilo. Bagaimana tidak, tak ada hari tanpa pertengkaran. Masing-masing dari kami tak mau disalahkan.Â
"Apa kerjamu, pulang malam terus," kataku memulai.Â
"Nah, kamu, apa yang dikerjakan di rumah? Semuanya nggak ada yang beres. Rumah kotor, anak-anak terlambat makan, baju sekolahnya nggak ada yang distrika."
Kami bertengkar hebat. Anak-anak menangis.Â
***
Malam ini aku dan istriku tidur bertolak punggung. Saling diam. Tapi sebenarnya masing-masing dari kami tahu kalau tak ada yang tidur. Aku resah. Kurasa istriku juga.Â
Akhirnya.Â
"Istriku, maafkan kelakuanku selama ini. Juga anggapanku soal kerja di rumah, ternyata tak semudah yang kukira selama ini. Sangat merepotkan. Duapuluh empat jam sehari serasa tak cukup. Maafkan aku."
Hening sebentar.Â