Ini bermula karena kami saling menyalahkan peran masing-masing. Aku jengkel dengan istriku, karena sering melihat rumah berantakan, terlambat membuatkan kopi untukku, anak-anak yang belum mandi, dan sebagainya.Â
Istriku pun menuduhku macam-macam. Dari yang menuduhku berbuat serong, hingga aku yang sering foya-foya di luar.Â
Tentu masing-masing pihak tak terima dengan tuduhan itu.Â
Entah kenapa tiba-tiba saja aku dan istriku bersepakat berganti peran, dia menjadi suami dan aku menjadi istri.Â
Maka pagi-pagi aku bangun. Kulihat pakaian yang menumpuk, piring-piring kotor, rengekan anak yang akan sarapan, minta jajan sekolah, dan menyiapkan segelas teh untuk istriku yang kini berperan sebagai suami.Â
Sedang istriku menyemprotkan parfum ke tubuhnya, menyeruput teh, dan sesekali membalas telepon.Â
"Aku mungkin pulang malam. Ada rapat dan kerja yang belum diselesaikan. Besok pertemuan kepala-kepala cabang. Lusa ke luar kota," kata istriku sambil memakai sepatu.Â
Istriku membuka tas. Mengeluarkan cermin kecil; ini sudah yang keempat kali. Apa bedak di pipinya terlalu tebal, atau ada yang salah dengan warna lipsticknya? Tiap sebentar istriku memonyongkan dan mengulum bibirnya. Membetulkan garis alisnya.Â
Kemudian rumah sepi. Istriku ke kantor, anak-anak berangkat ke sekolahÂ
Aku pergi ke pasar untuk membeli keperluan dimasak hari ini. Kemudian membereskan rumah, memasak, mencuci, menjemur pakaian, menyiram kembang, menyapu.Â
Rumah belum beres anak-anak sudah pulang dari sekolah. Mereka kesal, lapar, tapi aku baru memasak nasi. Anakku yang paling kecil menangis. Aku marah, tangisnya bertambah keras.Â
Malam istriku terlambat pulang. Aku marah-marah. Istriku tak terima, lebih marah lagi. Rumah seperti kapal pecah, anak-anak tak terurus, kata istriku tak kalah sengit.Â
Belum dua minggu berat badanku susut dua kilo. Bagaimana tidak, tak ada hari tanpa pertengkaran. Masing-masing dari kami tak mau disalahkan.Â
"Apa kerjamu, pulang malam terus," kataku memulai.Â
"Nah, kamu, apa yang dikerjakan di rumah? Semuanya nggak ada yang beres. Rumah kotor, anak-anak terlambat makan, baju sekolahnya nggak ada yang distrika."
Kami bertengkar hebat. Anak-anak menangis.Â
***
Malam ini aku dan istriku tidur bertolak punggung. Saling diam. Tapi sebenarnya masing-masing dari kami tahu kalau tak ada yang tidur. Aku resah. Kurasa istriku juga.Â
Akhirnya.Â
"Istriku, maafkan kelakuanku selama ini. Juga anggapanku soal kerja di rumah, ternyata tak semudah yang kukira selama ini. Sangat merepotkan. Duapuluh empat jam sehari serasa tak cukup. Maafkan aku."
Hening sebentar.Â
"Maafkan aku juga," suara istriku. "Ternyata bekerja di luar begitu mengerikan. Dua kali aku hampir terserempet motor, sekali terpeleset di tangga saat akan mengejar kereta. Di luar ternyata begitu buas."
Diam.
Seperti dikomando kami saling memutar badan, kami bertatapan. Kulihat mata istriku basah, ia menangis.Â
Kataku, "Bagaimana kalau kita seperti semula, kau di rumah, aku kembali bekerja di luar. Aku janji, aku tak marah lagi kalau kau terlambat membuat kopi pagi hari. Juga tak menyalahkanmu kalau rumah sedikit berantakan, anak-anak belum mandi. Dan memaklumi kalau tubuhmu masih bau asam, saat aku pulang kerja. Mungkin banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan, hingga kau terlambat mandi.Â
"Kamu mau?"
"Ya. Aku juga minta maaf, karena sering marah kalau kau terlambat pulang kerja. Baru kusadari suasana kota ini begitu macet, saat berangkat  atau pulang kerja. Aku juga tak akan menuduh, kalau kau telah selingkuh dengan perempuan lain. Dan memaklumi kalau kau jarang mengajak anak-anak jalan-jalan. Badanmu tentu terlalu lelah setelah seharian bekerja," kata istriku.Â
Aku menghapus air mata istriku, dan mengecup keningnya. Kami berpelukan, seperti ingin melebur dan memaafkan kesalahan masing-masing.Â
Aku bangun sebentar. Kumatikan lampu.Â
Untuk selanjutnya, maaf, aku tidak bisa cerita.Â
***
Cilegon, Juli 2020.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H