Jam 03:00 dini hari. Amri merapatkan jaketnya. Ia memantikkan korek api gas pada rokok yang terselip di bibirnya. Perlahan ia menjalankan angkotnya keluar dari area Pelabuhan Merak, menuju arah Cilegon. Lumayan, dapat tujuh penumpang.Â
Sebenarnya ia sudah dapat uang setoran angkot, dan ada kelebihan untuk dibawanya pulang. Sekarang ini hanya untuk menambah saja.Â
Baru sampai daerah Gerem sudah turun tiga orang, masing-masing membayar lima ribu. Memang segitu ongkos jarak dekat. Mudah-mudahan empat orang sisanya ini turun di Cilegon, karena ongkos ke Cilegon saat malam hari sepuluh ribu.Â
Tapi tidak. Sampai di Tegal Wangi keempatnya turun. Untunglah masing-masing bayar sepuluh ribu.Â
Amri lega. Sudah lebih dari cukup uang yang dibawanya pulang, untuk keperluan belanja dapur istrinya. Ia pun memacu angkotnya ke arah Cilegon, karena subuh nanti mobil akan dibawa Ipul. Mereka berdua bergantian.Â
Suasana masih sepi.Â
Amri membawa kendaraannya lebih kencang lagi. Saat angkotnya melintas dekat daerah Grogol, sebuah bayangan hitam seperti menyeberang.Â
Amri terkejut. Dan ia tak dapat menghindar lagi. Angkotnya sedikit terlonjak, seperti melindas sesuatu. Ada bunyi melingking.Â
Cepat, ia menghentikan angkotnya. Wajahnya mendadak pucat. Apakah tadi ia menabrak seseorang?Â
Saat ia melongok ke bawah angkotnya, terlihat benda hitam. Amri terkesiap. Seekor kucing. Kucing hitam!Â
Amri cemas. Menurut yang ia dengar-dengar, ini akan membawa sial. Dengan cepat Amri membungkus bangkai kucing itu dengan jaket yang dipakainya.Â
Ia tak memikirkan lagi jaketnya yang seharga tiga ratus ribu, dan baru dibeli seminggu yang lalu. Yang ia dengar begitu cara membuang sial, kalau kita menabrak seekor kucing. Bangkai kucing itu kita bungkus dengan baju yang kita pakai.Â
Dengan bantuan sepotong kayu Amri menggali tanah, dan menguburkan bangkai kucing itu. Untunglah ada hujan semalam, dan tanahnya berpasir, hingga memudahkan Amri menggalinya.Â
Perasaan Amri kini sedikit lega. Mudah-mudahan nanti tak terjadi sesuatu apa pun pada dirinya.Â
***
Perempuan Tua.Â
Jam dua dini hari Mak Jum sudah berada di Pasar Kranggot, Cilegon. Secepat itu ia sudah berada di pasar, karena memang untuk belanja keperluan sehari-hari yang akan dijualnya pagi hari. Dan Pasar Kranggot jam satu dini hari sudah mulai ramai.Â
Ia membeli bermacam-macam bumbu dapur, semuanya sudah dibungkus dengan kantong-kantong kecil. Juga beberapa bungkus sayur asem, beberapa bungkus sop-sopan. Tak ketinggalan cabe ( merah dan rawit ), bawang, dan tomat.Â
Sayur kangkung, bayam, sawi, daun singkong.Â
Dan ikan; dibungkus setengah-setengah kilo. Juga beberapa bungkus gesek ( ikan asin ).Â
Mak Jum tidak membeli daging, harganya mahal. Tak cukup modalnya, dan juga ia tidak bisa membeli bahan-bahan yang lain. Ia membeli daging kalau ada pesanan saja. Itu pun uangnya diberikan dulu oleh sang pemesan. Harga daging sekitar seratus duapuluh ribu, Mak Jum hanya mengambil ongkos lima sampai sepuluh ribu, tergantung kesepakatan.
Sekitar pukul setengah empat semua belanjaan beres. Mak Jum mengumpulkannya di sebuah bakul, yang digendongnya dengan kain panjang. Sisanya ia tenteng dengan  kantong plastik yang cukup besar.Â
Mak Jum naik angkot jurusan Merak, karena memang tempat tinggalnya di belakang kompleks perumahan di kawasan Grogol.Â
Di dalam angkot Mak Jum tercenung. Ia memikirkan anak gadisnya yang duduk di kelas 3 SMK. Anaknya seminggu lagi akan ujian akhir, sedang syarat bisa mengikuti ujian segala pembayaran uang sekolah harus sudah lunas.Â
Anaknya resah, juga malu, karena sering dipanggil pihak sekolah. Mudah-mudahan dalam seminggu ini ia bisa mengumpulkan uang untuk pembayaran uang sekolahnya, batin Mak Jum.Â
Mak Jum tersenyum sendiri membayangkan anaknya lulus sekolah dan cepat dapat kerja. Apalagi di Cilegon banyak pabrik-pabrik berdiri. Kalau tidak, anaknya bisa mencari di daerah Serang atau Tangerang.Â
Mak Jum tersenyum lagi.Â
Di sekitar Grogol angkot berhenti. Mak Jum pun membereskan belanjaannya. Setelah menerima ongkos angkot itu pun melaju cepat ke arah Merak.Â
Hari masih gelap, dan sepi.Â
Mak Jum menggendong bakulnya dan bersiap-siap untuk menyeberang. Mak Jum masih tersenyum membayangkan anak gadisnya.Â
Ia tak sadar, dari arah Merak ada sorot lampu bergerak sangat cepat menuju ke arah dirinya. Suara gemuruh mesin.Â
Benturan!Â
Bakul Mak Jum terlempar. Mak Jum tak melihatnya. Mak Jum hanya melihat warna-warna terang, warna-warna yang sangat indah.Â
Mak Jum melihat anaknya mengikuti ujian, lulus, dan ia bekerja di pabrik. Adik-adiknya berlarian menyambutnya saat anak gadisnya gajian pertama.Â
Dan bunyi ban berdecit, karena di-rem secara mendadak.Â
Hening.Â
"Gila lu, Ton! Makanya kalau mabok jangan bawa mobil!" suara-suara.Â
"Mati?" suara yang lain.Â
"Kayaknya."
Kemudian mobil itu mundur sebentar, dan sang sopir melempar sesuatu ke jalan.Â
"Dua ratus ribu?"
"Buang sial. Hahaha...!"
Kemudian mobil itu melaju dengan cepat, belok kiri ke arah pintu tol Cilegon Barat.Â
***
Paginya tubuh Mak Jum masih tergeletak di pinggir jalan, ditutupi koran. Orang-orang tak berani mengusiknya, menunggu kedatangan polisi.Â
Setengah meter dari tubuh Mak Jum ada gundukan tanah, yang sudah ditumbuhi rerumputan. Konon gundukan itu terkubur kucing yang tertabrak angkot, sekitar dua minggu yang lalu.Â
Kini kucing itu sudah beristirahat dengan tenang.Â
***
Cilegon, Juli 2020.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H