Sabtu pagi ini sebenarnya badan Gendhuk sudah terasa panas. Sri dan Surakyat - kedua orangtua Gendhuk  -  berpikiran hanya demam biasa saja. Nanti diberi obat warung panasnya juga turun. Dan nyatanya memang begitu.Â
Gendhuk, gadis kecil 9 tahun itu, siangnya sudah bermain dengan teman-temannya. Tapi saat malam panasnya naik lagi. Diberi lagi obat warung. Sampai tengah malam panasnya tetap belum turun, bahkan terasa makin tinggi.Â
Mudah-mudahan pagi sudah turun. Tidak juga. Surakyat dan Sri cemas.
"Bagaimana nih, Pak?" Sri menatap suaminya.Â
Surakyat tak menjawab. Dia sendiri juga tampak kebingungan.Â
"Puskesmas hari Minggu kan nggak buka," Sri lagi. "Klinik, praktek dokter, juga banyak yang tutup. Kalaupun buka, bayarnya kan mahal."
"Rumah sak...?" suara Surakyat terhenti.Â
Surakyat menyadari, berobat ke rumah sakit -  sekalipun rumah sakit pemerintah  -  tetap mengeluarkan uang yang tak sedikit. Baginya, yang sehari-hari sebagai pemulung, mendengar kata 'masuk rumah sakit' adalah sesuatu hal yang mengerikan.Â
Dia juga tak punya kartu BPJS. Ia  bersama istrinya penduduk pendatang di daerah ini. Ada KTP, tapi itu KTP dari tempatnya berasal. Surakyat memang ada mendengar orang-orang seperti dirinya mendapat Kartu Sehat dari pemerintah, tapi ia tak mengerti mengurus hal-hal seperti itu. Lagi pula ia jarang tinggal lama di tempat asalnya.Â
Kini anaknya sakit. Baru ia menyadari kalau kartu itu memang perlu.Â
"Kita tunggu Senin besok saja, Gendhuk kita bawa ke Puskesmas," saran Sri, istrinya.Â
Tapi menunggu Senin besok serasa menunggu bertahun-tahun. Surakyat dan Sri amat cemas melihat kondisi Gendhuk semakin lemah.Â
Ada beberapa tetangganya yang melihat.Â
"Cepat periksa! Ada kok hari Minggu ini dokter yang praktek."
"Bawa ke rumah sakit."
"Aduh, anak sudah seperti ini didiamkan saja. Uang bisa dicari... Jangan pelit... Ini urusan nyawa...!"
Dan banyak lagi. Tapi hanya sebatas komentar. Ia memang cuma tamatan SD, tapi ia tidaklah bodoh, bahwa kalau ada orang sakit harus diperiksa dokter. Tapi...!Â
***
Senin pagi ini ternyata Puskesmas begitu ramai. Surakyat dan Sri seperti duduk di atas bara menunggu namanya dipanggil. Saat namanya disebut baru terasa lega. Cuma sebentar.Â
"Anak sudah seperti ini kok baru dibawa sekarang?" tanya Dokter Puskesmas itu.Â
"Iya, Dok. Panasnya dari hari Sabtu kemarin. Nggak turun-turun sampai hari Minggu."
"Kok nggak diperiksa?"
"Puskesmas hari Minggu kan tutup?"
"Bukankah bisa langsung dibawa ke rumah sakit?"
Nah, itu. Surakyat diam saja.Â
"Nih, saya buatkan Surat pengantar. Anak Bapak harus dibawa sekarang ke rumah sakit. Sepertinya dia ada gejala demam berdarah, tapi biar pihak rumah sakit yang memastikannya."
Demam berdarah? Surakyat makin takut membayangkannya.Â
***
"Bagaimana, Pak?" cemas Sri dalam perjalanan pulang naik motor. "Biayanya, biayanya...," tangis Sri pecah.Â
"Kita langsung ke rumah Bos. Mudah-mudahan ia mau meminjamkan uang," suara Surakyat berharap. Yang dimaksud 'bos'' oleh Surakyat adalah juragan pemulung, tempat biasa Surakyat menjual hasil pulungannya.Â
Untunglah juragan itu mau meminjamkan uangnya. Tapi persoalan tidak selesai sampai di situ. Jalan menuju rumah sakit harus melewati jalan raya, memotong perempatan jalan protokol.Â
Laju motor Surakyat terhenti. Ada keramaian, banyak orang-orang berbaris sepanjang jalan sambil memegang bendera kecil. Surakyat bertanya-tanya, ada apa.Â
Rombongan Presiden mau lewat!Â
Surakyat meminta tolong kepada salah satu petugas, agar ia diizinkan lewat.Â
"Wah, nggak bisa, Pak. Sebentar lagi rombongan Presiden akan lewat," cegah petugas itu.Â
"Tolong, Pak, anak saya sakit. Sudah parah. Harus cepat-cepat dibawa ke rumah sakit," Surakyat menghiba.Â
"Nggak bisa. Ini untuk menjaga keselamatan rombongan Presiden. Diperkirakan dua puluh menit lagi rombongan akan sampai."
Apa, dua puluh menit? Itu masih lama. Surakyat gelisah. Ia memohon-mohon agar diizinkan lewat. Didesak begitu sang petugas malah jengkel. Ia melihat motor Surakyat.Â
"Motor Bapak bodong, ya?"
Pertanyaannya datar saja. Tapi nada yang dirasakan Surakyat seperti ancaman. Ia akui surat-surat motornya tak ada. Motor itu motor tua. Motor itu ia gunakan sehari-hari untuk memulung, dengan gerobak sederhana yang diikatkan di belakang motornya.Â
Surakyat diam saja. Tak berani lagi mendesak. Hanya kini ia semakin cemas. Panas tubuh anaknya terasa menembus kulit punggungnya.Â
Dua puluh menit. Itu dirasakan seperti berjam-jam. Tak lama terdengar suara sirene.Â
"Pak...?" suara Sri.Â
Surakyat tak mendengar. Pikirannya terlempar jauh.Â
Suara sirene semakin dekat. Orang-orang bersorak menyambut.Â
"Pak...? Gendhuk, Pak... Anak kita, anak kita, Pak?" suara Sri bergetar.Â
Surakyat tersadar. Ia terkejut ketika dilihatnya tak ada gerakan pada tubuh anaknya . Diraba nadinya, di hidungnya.Â
Tak ada!Â
Tubuh Surakyat menggigil, memeluk, mengguncang-guncang, sambil memanggil-manggil anaknya. Sedang Sri menjerit histeris menumpahkan tangisannya.Â
Tapi suara mereka tertelan oleh raungan sirene, dan sorak-sorai orang-orang sepanjang jalan. Terlihat rombongan Presiden lewat. Sangat kencang.Â
***
Cilegon, April 2020.Â
Catatan.Â
Cerpen ini sudah tayang di Secangkirkopibersama.com.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H