Surakyat meminta tolong kepada salah satu petugas, agar ia diizinkan lewat.Â
"Wah, nggak bisa, Pak. Sebentar lagi rombongan Presiden akan lewat," cegah petugas itu.Â
"Tolong, Pak, anak saya sakit. Sudah parah. Harus cepat-cepat dibawa ke rumah sakit," Surakyat menghiba.Â
"Nggak bisa. Ini untuk menjaga keselamatan rombongan Presiden. Diperkirakan dua puluh menit lagi rombongan akan sampai."
Apa, dua puluh menit? Itu masih lama. Surakyat gelisah. Ia memohon-mohon agar diizinkan lewat. Didesak begitu sang petugas malah jengkel. Ia melihat motor Surakyat.Â
"Motor Bapak bodong, ya?"
Pertanyaannya datar saja. Tapi nada yang dirasakan Surakyat seperti ancaman. Ia akui surat-surat motornya tak ada. Motor itu motor tua. Motor itu ia gunakan sehari-hari untuk memulung, dengan gerobak sederhana yang diikatkan di belakang motornya.Â
Surakyat diam saja. Tak berani lagi mendesak. Hanya kini ia semakin cemas. Panas tubuh anaknya terasa menembus kulit punggungnya.Â
Dua puluh menit. Itu dirasakan seperti berjam-jam. Tak lama terdengar suara sirene.Â
"Pak...?" suara Sri.Â
Surakyat tak mendengar. Pikirannya terlempar jauh.Â