Pernah suatu ketika Raisa memakai baju terusan berbahan kaos. Tentu saja lekuk tubuhnya tercetak jelas, ditambah bagian bawahnya - seperti biasanya - Â jauh di atas lutut; sepatu high heel, serasi dengan tungkai kaki yang bagus, kulit yang bersih, dan ada tato mawar di betisnya.Â
Entah sengaja atau tidak, Raisa pura-pura membetulkan letak sepatunya, dengan sebelah kakinya bertumpu pada sebuah bangku, kakinya terangkat sedikit. Tentu saja bajunya tertarik sedikit ke atas, tentu saja batang pahanya yang mulus itu lebih jelas tersembul keluar. Tentu saja... ah, tidak! Yang jelas sepanjang gang itu seperti terhipnotis, tak ada suara.Â
Bang Zack saja, raja catur di lingkungan kami, sore itu di-skakmat oleh Mas Budi. Gagal fokus!
Bukan itu saja. Kalau boleh sore itu meminjam satelit NASA, dan melihat bumi, mungkin bisa dilihat perputaran bumi sedikit terganggu.Â
***
Tidak semua senang dengan kehadiran Raisa, ada juga yang jengkel. Terutama Ibu-ibu, terlebih Bu Kokom. Apalagi ia mendengar selentingan, bahwa Bang Sanip, suaminya yang petugas Satpam itu lirak-lirik kepada Raisa. "Dasar cewek kegatelan," kesal Bu Kokom.Â
Isu mengenai Bang Sanip mulai akrab dengan Raisa makin berkembang. Bila biasanya Bu Kokom yang memulai nggosip, kini diam-diam ia menjadi bahan pembicaraan Ibu-ibu. Dengar-dengar Bang Sanip pernah kepergok berjalan berduaan dengan Raisa, dengar-dengar Bang Sanip pernah menyelinap ke tempat kontrakan Raisa saat Raisa tidak kerja. Dengar-dengar...!Â
Dengar-dengar Ibu-ibu itu bersepakat agar Bu Kokom tidak mendengar isu itu. Bisa perang!Â
Bu Kokom sendiri mulai curiga dengan gelagat suaminya, tapi ia belum bisa membuktikan secara pasti. Kalau benar firasatnya, awas! Bu Kokom geram.Â
***
Pagi itu di gang tempat kami tinggal diledakkan oleh suara-suara orang sedang bertengkar. Bu Kokom...? Orang-orang sudah mulai menduga-duga. Dan satunya lagi...? Raisa? Heh, akhirnya terjadi juga.Â