Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Pedagang Keliling, Istri yang Tak Tahan Godaan, dan Seni Perang ala Sun Tzu

17 September 2019   23:02 Diperbarui: 18 September 2019   19:14 4145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: Pixabay.com

Ini sudah yang ketujuh kali. Bayangkan! 

Apakah aku lantas marah-marah dan memukul pedagang keliling ganteng itu? Ini tidak lucu. Atau melaporkan ke polisi? Lebih tidak lucu lagi. Lebih menjengkelkan lagi, istriku seperti merasa tak bersalah. Dan ujungnya menimbulkan pertengkaran. 

Memang yang dibeli istriku dari pedagang keliling itu bukanlah barang-barang mahal. Masalahnya barang-barang yang dibeli itu tak terlalu dibutuhkan, bahkan barang yang lama masih bisa dipakai. Seperti panci, kuali, daster, dan banyak lagi lainnya. "Kasihan dengan pedagangnya," alasan istriku. 

Kasihan sih boleh saja. Tapi kalau keseringan tentu menjengkelkan. Dan sudah tujuh kali, itu yang ketahuan. Sebelumnya mungkin lebih banyak lagi. 

Sekali lagi, ini bukan soal harganya, bukan soal keberatan uang yang dikeluarkan, tapi barang-barang itu tak terpakai. Terus terang aku merasa tak nyaman. Ini menjadi pikiran, terbawa saat aku melakukan pekerjaan di kantor. 

Aku merasa terteror. Ada baiknya pada Sidang Umum PBB tahun ini, agar diagendakan untuk membahas pedagang keliling ini sebagai teroris. Kalau tidak, entahlah. Jangan sampai gara-gara pedagang keliling itu, aku dan istriku terus-terusan bertengkar. Kalau aku dan istriku bercerai, PBB harus ikut bertanggung jawab. 

***

Setelah kupikir-pikir, tak baik aku terlalu disibukkan dengan kelakuan pedagang keliling itu. Aku bisa senewen, stres! Dan lagi, itu memang sudah kerjaannya, bagaimana ia berusaha agar dagangannya laku. Tinggal bagaimana aku menasihati istriku saja. Tapi nanti bertengkar lagi. Tidak. 

Tidak! 

Cukup, aku tidak ingin ribut-ribut dengan istriku gara-gara hal sepele. Tapi di sisi lain aku tidak ingin pikiranku terganggu. Aku ingin damai. Tapi aku pernah mendengar ungkapan, ingin damai siapkan peperangan. 

Peperangan? Bagaimana caranya? 

Sun Tzu! Ya, aku teringat dengan seni perang ditulis Sun Tzu, berabad silam. Untuk memenangkan pertempuran, demikian Sun Tzu, kita harus mencermati titik kelemahan dan kekuatan lawan. Buat kamuflase, seolah-olah kita menyerang dari Barat, padahal kita menyerbu dari Timur. Buat kesan seolah-olah kita lemah, hingga musuh menjadi lengah. Buat kekacauan, rampok rumah yang terbakar. Bersekutu dengan orang-orang yang tidak suka dengan musuh kita. 

Fuih! Ini bukan perang baku bunuh. Tapi teori dapat diterapkan dalam kehidupan biasa. Bahkan, konon, dunia bisnis juga mengadopsi seni perang ala Sun Tzu Ini. 

Tapi, tapi bagaimana caranya? 

***

Setelah beberapa hari akhirnya aku mendapat ide. Aku akan melakukan seperti apa yang dilakukan pedagang keliling itu. Ya, aku akan berdagang. Ini tentu sesuatu yang tak dapat diduga sama sekali. Rencana bagus tak boleh bocor. Makanya aku tak memberi tahu istriku. 

Saat libur kantor aku pergi ke Pasar Pagi, tentu tanpa sepengetahuan istriku. Segala macam kubeli, dari perabotan dapur, pakaian, mainan anak, dan banyak lainnya lagi. Setelah kulihat nota jumlah belanjaanku sekitar tiga juta rupiah. Semuanya kusatukan, kumasukkan ke dalam karung. Barang belanjaan itu kutitipkan di rumah kawanku. Aku tidak ingin rencana ini diketahui istriku.

Hm, sekarang tinggal mengatur strategi. 

Serang titik terlemah dari pertahanan musuh, aku ingat Sun Tzu. Istrinya, ya, istri pedagang keliling itu. Perempuan adalah titik terlemah. Aku akan jual daganganku semurah mungkin. Satu juta, ya, satu juta. Siapa yang tak tergiur barang seharga sekitar tiga juta, dijual hanya satu juta saja. Tentu aku, aku akan rugi sekitar dua juta. 

Bukan ke sana hitunganku.

Aku membayangkan betapa jengkelnya pedagang keliling itu kepada istrinya, karena istrinya membeli barang-barang yang tidak mereka butuhkan. Mereka bertengkar? Rasakan! Mereka bercerai? Bukan urusanku! Mm, ini pembalasan yang amat manis, aku membayangkan. 

Rampok rumah yang terbakar, masih kata Sun Tzu. Aku tahu dari cerita istriku, bahwa pedagang keliling itu sedang butuh uang untuk keperluan pengobatan orangtuanya yang sedang sakit. Ini dia! Mereka sedang susah, akan kubuat lebih susah lagi. Mm, merampok rumah yang terbakar. Rasanya, saat ini juga aku mau menjura -menangkupkan kedua tangan-  di hadapan Sun Tzu. 

Akhirnya kesempatan itu datang. 

Aku menyuruh istriku menelepon pedagang keliling itu, berpura-pura akan membeli barangnya. Istriku terheran-heran. Tapi setelah kuberi sejumlah uang ia terdiam. "Terserah kamu mau beli apa saja," kataku. Ini teori Sun Tzu yang lain, gebah rumput sekitar agar ular keluar dari sarang. 

Setelah diberi tahu istriku, bahwa pedagang keliling itu akan ke rumahku membawa barang dagangannya, aku tersenyum dalam hati. Mm, ular itu telah keluar dari sarang. Ini saatnya menyerbu pertahanan musuh.

Diam-diam aku menyelinap keluar, dan mengambil daganganku di rumah temanku. Dengan motor aku aku menuju ke rumah pedagang keliling itu. Benar saja, pedagang keliling itu tak ada. Kudapati hanya istrinya.

Layaknya seorang pedagang berpengalaman, aku menawarkan daganganku kepada istri pedagang keliling itu. Sudah kuduga, ia tak berminat. 

"Ini murah. Semuanya cuma sejuta."
"Sejuta? Barang dari maling, ya?" perempuan itu curiga.
"Enak aja. Lihat saja notanya."
"Tiga juta, semuanya lebih tiga juta? Kenapa mau dijual murah?"
"Aku mau pindah rumah. Tak mungkin kan barang ini aku bawa. Makanya aku obral, yang penting jadi duit."
"Tapi saya cuma punya uang delapan ratus."
"Delapan ratus ribu?"

Perempuan itu mengangguk.      

Akhirnya aku sepakat menjualnya seharga delapan ratus ribu. Kulihat istri pedagang keliling itu begitu senang. Aku lebih senang lagi. 

***

Ternyata begitu mudahnya. Aku membayangkan pedagang keliling itu terkejut melihat apa yang dibeli istrinya, kemudian marah. Istrinya tak terima, bertengkar. Rasakan, aku tersenyum. Sehebat apa pun ia berdagang, tak mungkin ia bisa menjual semuanya. Itu pun ia membutuhkan waktu yang lama.

Kini aku merasa suasana begitu nyaman, tenang, tak ada lagi pertengkaran. Sebuah suasana yang sudah lama tak kurasakan.

Pedagang keliling itu sudah tak kelihatan lagi menyambangi rumahku. Sudah seminggu, oh, bukan, bukan. Sudah lebih tiga minggu.

Apakah kemarin ini ia bertengkar hebat dengan istrinya, main tangan, dan istrinya tak terima dan langsung menggunggat cerai?

Tak kupikirkan. Kini hatiku merasa puas. Mm, teorimu hebat, Sun Tzu. Wo ai nie!

***

Setelah lebih satu bulan, saat aku pulang kerja, istriku menyambut dengan wajah gembira. 

"Kejutan! Aku ada kejutan untuk Abang. Kabar gembira," sambut istriku. 

Sebelum jauh aku bertanya, ia langsung menyeret tanganku. Dan dihadapkan pada seonggok karung. 

"Lihat Bang, aku dapat barang murah. Banyak macamnya, lagi. Hahaha, pedagang keliling itu sudah stres, barangkali."

Pedagang keliling? Hatiku berdetak. Hatiku semakin tak enak, karena mengenali karung itu, juga isinya. 

"Murah, Bang. Hahaha, cuma dua juta."

"Dua juta?"

"Iya. Lihat, ini notanya. Lebih tiga juta. Hebat aku kan, Bang? Abang pasti senang."

Aku lihat notanya, aku mengenalinya. Aku menatap istriku dalam. 

"Kamu kenal Sun Tzu?"

"Sun Tzu? Nggak. Kenapa?"

"Aku benci dia!"

***

Cilegon, 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun