Istana masih sama, namun Prita merasakan perbedaannya. Kelihatannya sama, tetapi suasananya telah berubah. Dari kecurigaan di mata para keponakannya hingga permusuhan yang nyaris tak terselubung di mata Pangeran Gandara.
Hastinapura telah berubah.
Prita mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya imajinasinya, meskipun dia tahu lebih baik. Namun dia berharap dapat mengubah kecurigaan para keponakannya menjadi penerimaan dan bahkan cinta. Bagaimanapun, mereka adalah putra-putri Gandari.
Dia tahu bahwa tidak ada yang dapat dia lakukan terhadap permusuhan Sengkuni. Namun, Sengkuni hanyalah seorang tamu dan tidak terlalu penting. Dia mengabaikan permusuhannya sebagai rasa malu.
Dia bersedih atas keputusan Satyawati dan kedua ibu suri untuk mengambil jalan Sanyasa, tetapi menerimanya. Itulah cara para Ksatria. Pergi ke hutan, menjadi seorang pertapa.
Tahap akhir kehidupan.
Dia memandang sekeliling tempat tinggalnya dengan penuh rasa nostalgia. Tidak lagi sama dengan yang pernah dia tempati sebelumnya. Namun, hampir semua tempat tinggal di istana kerajaan mengikuti desain yang sama. Kamar-kamarnya besar, terang, dan mewah.
Dia mendesahketika duduk di kursi. Kehidupannya di hutan sudah terasa seperti seumur hidup. Dia merasakan air mengalir dari matanya dan tidak melakukan apa pun untuk menghentikannya. Kremasi dan upacara terakhir suaminya dan Madri harus dilakukan keesokan harinya. Dia harus tenang dan bermartabat. Dan dia harus menahan air matanya saat itu.
Dia memikirkan hidupnya bersama suaminya.
Senyum tipis muncul di bibirnya, meskipun air mata masih mengalir di pipinya.
"Kunti," dia bisa mendengar suara pria itu. Pria itu mengangkat dagunya dan menatap matanya.
"Malu dengan suamimu?"
Prita menundukkan matanya, jantungnya berdebar kencang. Matanya penuh gairah, namun sentuhannya lembut.
Pria itu menangkup wajahnya dengan kedua tangan dan mengangkatnya ke wajahnya. Sang wanita memejamkan mata dan mengangkat wajahnya untuk mengantisipasi sentuhan bibirnya.
Dia membuka matanya ketika udara dingin menyentuh wajahnya yang mendongak.
Prita membenamkan wajahnya di tangannya dan menangis.
Cikarang, 17 Januari 2025
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H