Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kepulangan

17 Januari 2025   07:58 Diperbarui: 17 Januari 2025   07:58 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Istana masih sama, namun Prita merasakan perbedaannya. Kelihatannya sama, tetapi suasananya telah berubah. Dari kecurigaan di mata para keponakannya hingga permusuhan yang nyaris tak terselubung di mata Pangeran Gandara.

Hastinapura telah berubah.

Prita mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya imajinasinya, meskipun dia tahu lebih baik. Namun dia berharap dapat mengubah kecurigaan para keponakannya menjadi penerimaan dan bahkan cinta. Bagaimanapun, mereka adalah putra-putri Gandari.

Dia tahu bahwa tidak ada yang dapat dia lakukan terhadap permusuhan Sengkuni. Namun, Sengkuni hanyalah seorang tamu dan tidak terlalu penting. Dia mengabaikan permusuhannya sebagai rasa malu.

Dia bersedih atas keputusan Satyawati dan kedua ibu suri untuk mengambil jalan Sanyasa, tetapi menerimanya. Itulah cara para Ksatria. Pergi ke hutan, menjadi seorang pertapa.

Tahap akhir kehidupan.

Dia memandang sekeliling tempat tinggalnya dengan penuh rasa nostalgia. Tidak lagi sama dengan yang pernah dia tempati sebelumnya. Namun, hampir semua tempat tinggal di istana kerajaan mengikuti desain yang sama. Kamar-kamarnya besar, terang, dan mewah.

Dia mendesahketika duduk di kursi. Kehidupannya di hutan sudah terasa seperti seumur hidup. Dia merasakan air mengalir dari matanya dan tidak melakukan apa pun untuk menghentikannya. Kremasi dan upacara terakhir suaminya dan Madri harus dilakukan keesokan harinya. Dia harus tenang dan bermartabat. Dan dia harus menahan air matanya saat itu.

Dia memikirkan hidupnya bersama suaminya.

Senyum tipis muncul di bibirnya, meskipun air mata masih mengalir di pipinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun