"Halo, Malika, bukan?" katanya dengan suara yang terdengar sangat berpendidikan. Aku sadar kami belum pernah berbicara sebelumnya.
Angkot berderak di sepanjang jalan sempit yang namanya lebih dari satu, dibatasi oleh pagar tanaman yang tinggi, mendorong kami ke sana kemari.
Dia mulai menceritakan kisah hidupnya, kisah panjang tentang universitas, kualifikasi, dan akademis. Aku segera kehilangan konsentrasi, tetapi tersentak dari lamunanku ketika ida berkata, "Jadi, kamu akan membawanya kepadanya?"
"Maaf, siapa tadi?"
"Gerhana, anakku, dia bekerja di laboratorium penelitian di Universitas, aku baru saja berbicara tentang dia!"
"Oh ya, tentu saja," kataku, langsung menyesalinya.
Jari-jarinya yang bengkok karena rematik memberiku sebuah amplop tertutup dan aku tiba-tiba sungguh-sungguh menyesal. Aku tersenyum.
"Aku bisa mengantarnya besok."
***
Keesokan harinya aku berkeliaran di selasar yang tak berujung, merasa seperti seorang penipu. Aku memberi tahu seorang penjaga keamanan bahwa aku punya pesan untuk 'Gerhana'.
"Oh, Profesor Harisman, maksudmu," katanya, tersenyum penuh pengertian. Dia melambaikan tangan untuk membiarkanku lewat, mungkin menganggapku bukan ancaman bagi kampus itu.