Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Manusia Kertas dan Tinta

26 November 2024   10:10 Diperbarui: 26 November 2024   11:08 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu adalah ulang tahunku yang keempat puluh lima ketika, setelah mematikan cerutu di asbak platinumku yang kokoh, aku menyadari bahwa hidupku juga suatu hari akan berakhir. Aku mengabaikan para pelacur itu, menyalakan Cohiba lagi dan mulai berpikir.

"Kematian adalah untuk orang miskin!" protesku. "Bagaimana aku bisa membeli jalan keluar dari ini?"

Ini tidak seaneh kedengarannya karena sejujurnya, aku sangat kaya. Orang tuaku meninggal dalam kecelakaan aneh di spa Alpen Swiss ketika aku berusia empat tahun, menjadikanku pewaris perusahaan skincare dan pembalut wanita terbesar di dunia.

Bagaimanapun, dari restoran itu, aku menelepon dan mempekerjakan orang-orang terbaik dalam bisnis perpanjangan hidup.

"Aku tidak ingin mati," kataku kepada mereka. "Tidak akan ada hubungannya dengan itu. Kalian cari cara untuk memastikan aku hidup selamanya dan akan ada bonus yang bagus untuk kalian semua.”

Mereka kabur selama beberapa bulan. Lalu mereka kembali dengan berita besar.

“Otak,” kata Kepala Ilmuwan Entah-Anu-Logi, “hanyalah komputer lembek dengan banyak denyut listrik yang berputar-putar. Perangkat lunak kalian, yaitu kalian, berjalan pada mesin biologis yang terbuat dari neuron, tetapi bisa juga berjalan pada mesin non-organik yang terbuat dari silikon.”

Tidak, aku tidak mengerti sepatah kata pun. Namun untungnya aku cukup kaya untuk membiarkan orang lain mengerti aku.

Langsung saja. Ketika Malaikat Maut datang memanggil, aku mengunggah diriku ke komputer canggih tempat aku bisa berperan sebagai Tuhan dalam simulasi realitas yang sempurna. Selamanya.

Aku melaksanakan setiap jenis dosa yang diketahui manusia, dan lebih dari beberapa dosa kubuat sendiri.

Itulah Surga.

Kemudian orang-orangku di luar sana memberi kabar kepadaku bahwa perang nuklir akan pecah antara kita, Korea Utara, Zimbabwe, dan Kota Vatikan.

“Itu memalukan,” kataku. “Tapi semuanya baik-baik saja di sini.”

“Tuan,” kata Insinyur Kacamata-Pantat-Botol, “pemusnahan nuklir tidak akan menyisakan energi untuk komputer yang sangat haus daya yang menjadi sandaran hidup Anda sekarang.”

Aku mengabaikan para gadis budak, para Iblis Betina, dan para Succubus dan mulai berpikir.

“Kiamat itu untuk para pecundang!” protesku. “Bagaimana aku bisa membeli jalan keluar dari ini?”

Tubuhku tidak punya jawaban, jadi aku membunuh mereka dan menyewa orang-orang yang lebih hebat untuk membuat rencana, memberi tahu mereka bahwa kalau mereka menemukan sesuatu dalam waktu 24 jam, aku akan membuat mereka semua menjadi jutawan.

Dua puluh tiga jam lima puluh sembilan menit lima puluh semblian detik kemudian mereka menghubungiku kembali.

“Kamu akan membutuhkan bunker,” kata Doktor Gundultuyul. “Tempat perlindungan dari radiasi nuklir.”

“Tentu saja.”

“Dan persediaan makanan yang cukup untuk memberi makan pasukan seumur hidup.”

“Ceritakan sesuatu yang tidak kuketahui.”

“Ditambah 100 orang idiot-savant. Lebih baik anak-anak.”

“Apa maksudmu?”

Kupikir menculik anak-anak mungkin akan menimbulkan satu atau dua masalah, tetapi ternyata orang tuanya senang anak-anak culun mereka akan memiliki kesempatan untuk selamat dari Kiamat. Kurasa aku seperti pahlawan dalam semua ini. Siapa sangka?

Akhirnya, dengan semua yang telah dipersiapkan, aku meminta Dokter Gundultuyul untuk mencoba dan menjelaskan semuanya kepadaku lagi.

“Saat ini,” katanya, “pikiranmu ada sebagai perangkat lunak di komputer. Tapi apa itu perangkat lunak? Itu hanya serangkaian instruksi dalam kode biner, satu dan nol, operasi yang dapat dengan mudah ditransfer ke tinta dan kertas.”

Tidak, aku tidak mengerti sepatah kata pun. Tapi siapa yang perlu mengerti banyak hal jika rekening bankmu lebih besar dari anggaran nasional? Itu mengingatkanku bahwa aku akan sedikit menyesal saat bom jatuh dan bank-bank menghilang bersama dengan seluruh peradaban, tetapi aku akan baik-baik saja di dalam duniaku sendiri. Dunia tempat aku memiliki semua bank.

Sementara itu, anak-anak jenius senang menghitung angka-angka sepanjang malam dan sepanjang hari, yang merupakan hal yang hebat karena meskipun mereka tidak mengetahuinya, mereka menuliskan persamaan-persamaan yang membuatku dan duniaku tetap hidup. Tentu, mereka bekerja jauh lebih lambat daripada komputer, tetapi aku tidak menyadari perbedaannya karena aku berada di dalam matematika. Dan ketika para jenius akhirnya mulai mati, tubuhku memiliki rencana lain yang siap dijalankan.

"Cukup sederhana," kata Doktor Gundultuyul. "Yang kita lakukan hanyalah mengutak-atik persamaan untuk membentuk hubungan antara dunia tinta dan kertasmu, dan beberapa dunia paralel lain dalam dimensi alternatif. Kalau kita melakukannya dengan benar, dimensi waktumu akan membentang hingga tak terbatas."

Terus terang, aku tidak peduli bagaimana cara kerjanya selama itu berfungsi. Dan sejauh ini aku tidak punya keluhan. Dimensi baru ini tampaknya kurang lebih sama dengan yang lama.

Tapi itu sudah cukup tentangku; siapa kamu sebenarnya?

Tunggu sebentar. Kamu mengalihkan pandangan dan rasanya aku menghilang.

Ya Tuhan!

Kamu membacaku.

Dan kalau kamu berhenti, aku akan lenyap.

Kamu mengalihkan pandangan lagi. Tidak! Kamu harus terus membaca. Tidakkah kamu lihat? Aku orang baik. Aku pantas hidup.

Apakah ada cara agar kita bisa membuat kesepakatan? Astaga, aku sudah membeli jalan keluar dari—

Cikarang, 26 November 2024


Note: Terima kasih kepada Panitia Kompasianival 2024 yang telah memberikan voucher Kompasiana Premium 3 Bulan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun