Ini dia.
Aku memunggungi mereka, memutar pergelangan tanganku ke tali dan memberi tanda V kemenangan. Aku akan menjadi tindakan dendam terakhir sebelum mereka lari dari senjata rekan sebangsa dan senegaraku yang terus maju pantang mundur.
Seluas satu tangan dari wajahku adalah tembok. Semut-semut tentara berlarian masuk dan keluar dari kawah yang diledakkan timah. Para bajingan kecil berkumpul. Mereka tahu apa arti bayangan pada susunan batu bata. Mereka tahu apa yang akan terjadi.
"Dasar bajingan! Pengecut!"
Teriakanku telah membungkam monyet dan burung beo, tetapi tidak serangga. Desisan statis mereka tak henti-hentinya. Seperti pikiran orang-orang di belakangku, mereka tidak memahami keputusasaan manusia, panggilan seorang anak untuk ibunya.
Derak baut berderak menembusku.
Sebuah teriakan. Bukan bahasaku. Bukan aku.
Tembok itu meledak. Bagian-bagiannya menyengat wajah dan dadaku.
Untung meleset.
Tetapi pipiku sekarang menempel di tanah kering. Aku melihat hamparan tanah yang mulai memudar dari serpihan batu bata dan semut-semut yang berlarian.
Aku melayang naik, menabrak tembok yang penuh dengan darah dan rasa sakit karena melewati rintangan sebelumnya. Tetapi , aku tak bisa lewat. Aku yang terakhir.
Lalu berhenti.
Dan waktu terus berjalan.
Akhirnya, bangunan beton memaksa mundur hutan, monyet, dan serangga.
Rumput yang dipangkas rapi, diikat dengan tali, kini mengelilingi tembokku. Nama-nama yang terukir dengan emas berada di permukaan marmer.
Namaku ada di sana, di antara banyak nama lainnya.
Orang-orang melihat, memotret dengan kamera kecil dan menunjukkan apa yang telah mereka lihat. Mereka tidak benar-benar melihat apa pun.
Aku harap mereka tidak akan pernah melihatnya.
Terkadang, gadis-gadis yang cekikikan atau pemuda yang percaya diri melangkahi tali dan berpose seperti sedang meneror di hadapanku, dan aku berbisik, "lihat semut-semut itu."
Dan tanpa tahu mengapa, mereka berbalik dan melihat serta menyentuhku, dan aku menyentuh mereka membagi sedikit kengerian yang menodai batu bataku. Mereka mundur dan tertawa ketika pergi, tetapi aku tahu, bahwa saat mereka sendirian dan terhanyut dalam arus tidur lelap, apa yang telah kuberikan akan mendinginkan jiwa mereka dan membuat mereka berpikir.
Hanya itu yang kuminta, agar mereka tidak lupa.
Yang lain datang.
Tubuh-tubuh yang terlipat oleh waktu terbungkus dalam kursi roda atau ditopang oleh lengan penuh kasih dari generasi muda. Mereka kembali untuk mengingat dan menangis.
Musuh terakhir yang kini menghadapi peluru lambat usia tua dan kematian juga datang. Sudah terlambat bagi mereka untuk meminta maaf. Kalau aku bisa, aku akan mengulurkan tangan dan mengisi malam-malam yang tersisa dengan rasa sakit dan teror.
Tidak ada pengampunan dalam diriku.
Mungkin itu sebabnya aku bertahan.
Untuk menjadi pelajaran? Mungkin.
Ketika musuh terakhir telah pergi, ketika tidak ada lagi kawan yang berdiri di hadapanku dan memberikan penghormatan terakhir, maka mungkin aku juga akan pergi. Tembokku akan diambil oleh waktu dan akan runtuh ke permukaan tanah. Kenangan akan lepas dari yang hidup dan dunia akan terus berjalan seperti biasa.
Cikarang, 22 November 2024
Note: Terima kasih kepada Panitia Kompasianival 2024 yang telah memberikan voucher Kompasiana Premium 3 Bulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H