Aku melayang naik, menabrak tembok yang penuh dengan darah dan rasa sakit karena melewati rintangan sebelumnya. Tetapi , aku tak bisa lewat. Aku yang terakhir.
Lalu berhenti.
Dan waktu terus berjalan.
Akhirnya, bangunan beton memaksa mundur hutan, monyet, dan serangga.
Rumput yang dipangkas rapi, diikat dengan tali, kini mengelilingi tembokku. Nama-nama yang terukir dengan emas berada di permukaan marmer.
Namaku ada di sana, di antara banyak nama lainnya.
Orang-orang melihat, memotret dengan kamera kecil dan menunjukkan apa yang telah mereka lihat. Mereka tidak benar-benar melihat apa pun.
Aku harap mereka tidak akan pernah melihatnya.
Terkadang, gadis-gadis yang cekikikan atau pemuda yang percaya diri melangkahi tali dan berpose seperti sedang meneror di hadapanku, dan aku berbisik, "lihat semut-semut itu."
Dan tanpa tahu mengapa, mereka berbalik dan melihat serta menyentuhku, dan aku menyentuh mereka membagi sedikit kengerian yang menodai batu bataku. Mereka mundur dan tertawa ketika pergi, tetapi aku tahu, bahwa saat mereka sendirian dan terhanyut dalam arus tidur lelap, apa yang telah kuberikan akan mendinginkan jiwa mereka dan membuat mereka berpikir.
Hanya itu yang kuminta, agar mereka tidak lupa.