Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Kacamata Ayah

21 November 2024   20:20 Diperbarui: 21 November 2024   21:15 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mengintip ke dalam laci kacamataku, memutuskan, dan mata kosong menatap balik. Kebanyakan orang tidak memperhatikan gambar yang ditekan ke dalam lensa, seperti negatif foto-foto lama, tetapi Ayah dan aku memperhatikannya.

Dia menyimpan kacamatanya di garasi, tetapi aku tidak diizinkan masuk ke sana.

Aku memilih kacamataku yang berwarna merah muda dengan goresan pada lensa dan Hello Kitty tercetak di gagangnya. Kacamata itu berderit saat aku memaksanya masuk ke telinga dan plastiknya menekan kulitku, tetapi kenangannya sepadan. Sementara Ibu menonton TV, aku menonton potongan-potongan masa lalu yang tercetak di kaca.

Melalui lensa, aku melihat taman dan sepedaku yang lama, rumbai-rumbai pelangi berayun dari stang. Gambar-gambar itu sunyi, tetapi aku ingat suara dengung di tanah. Kemudian tanah adalah satu-satunya yang bisa kulihat. Ayah membantuku berdiri, mengusap lututku yang kotor dan tersenyum.

Dia melirik ke bahunya ke seorang wanita yang sedang berjalan dengan anjingnya.

"Pulanglah, Sayang," bibirnya bergerak dan ingatanku menyediakan suara itu. "Bibi Jen akan mengantarmu. Aku akan segera datang." Aku mengangguk, bersepeda dan melambaikan tangan, tetapi dia sudah berjalan pergi. Seberkas cahaya terlepas dari rumbai-rumbaiku dan menari-nari di udara hangat, merah cerah di langit.

Ada suara ledakan di lantai bawah dan aku kembali ke dunia nyata.

"Ayah?" panggilku, mengembalikan kacamata yang terlalu kecil ke dalam laci.

Tangga berderit saat aku turun dan di dapur aku menekuk jari-jari kakiku di atas ubin yang dingin.

"Ayah?"

Aku berhenti. Pintu garasi sedikit terbuka. Ayah tidak pernah membiarkannya terbuka.

Sambil mengutak-atik kancing celana jengkiku, aku mengintip ke dalam.

Beton di bawah jari-jari kakiku dingin dan kegelapan mencuri suaraku. Ruangan ini terlarang, tetapi aku dapat melihat laci tempat Ayah menyimpan kacamatanya.

Dia punya lusinan kacamata. Kacamata-kacamata itu menatap dalam lebih banyak warna dan bentuk daripada yang kuduga: beberapa memiliki lensa setebal jari-jariku. Yang lain mirip mata burung hantu kuning sedang memburu tikus kecil.

Aku tidak bisa menahan diri. Aku mengambil sepasang kacamata berwarna merah darah dengan lensa tergores --- lebih besar dari punyaku.

Melalui kacamata itu, ruangan berubah dan aku ditarik ke waktu yang berbeda.

Sinar matahari menyambutku dan aku balas tersenyum, senang karena aku berada di taman lagi. Di depan, seorang gadis kecil mengendarai sepedanya dan seekor anjing mengatupkan rahangnya menggigit bola. Aku melepaskan rumbai merah tua dari rumput dan menyisirnya di antara jari-jariku.

Ada tangan di bahuku. Dengan warna putih yang kabur, gambar itu berputar untuk memperlihatkan langit. Rumbai itu jatuh ke tanah dalam semburat merah.

Gelap.  Aku menyipitkan mata untuk melihat gambar di kacamata itu. Sesaat, aku pikir ada yang salah dengan kacamata itu: Aku kembali berada di garasi.

Meja ditutupi dengan lembaran plastik dan ada peralatan di sampingnya. Gambar-gambar itu berputar cepat, begitu cepat hingga mataku berair, dan benda-benda itu kabur dalam cipratan hitam dan merah. Gambar itu menempel di tanganku dan mulutku kering.

Ayah melilitkan tali di sekeliling tanganku. Di atas meja, ada kilauan logam.

Aku membuka kacamata itu. Kacamata itu jatuh dan retak di lantai beton.

"Apa yang terjadi?" Ayah muncul di ambang pintu, wajahnya berubah murka.

Aku menyambar kacamata itu, jantungku berdebar kencang, dan melemparkannya ke dalam laci. Mata kosong itu menatap.

"Kamu tahu ruangan ini terlarang!" dia meraung dan aku mundur, perutku meloyo.

Dan aku tiba-tiba sadar.

Ayah tidak memakai kacamata.

Cikarang, 21 November 2024

 

Note: Terima kasih kepada Panitia Kompasianival 2024 yang telah memberikan voucher Kompasiana Premium 3 Bulan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun