Matahari jingga menyala menggantung tinggi di atas cakrawala selatan Kota Bangkok. Profesor Jullina Bend menata ulang roknya dan membetulkan tas kerja kulit buaya di pangkuannya yang berisi presentasi dan catatan penelitian dari ceramahnya di Mahidol University. Angin sepoi-sepoi bertiup dari belakang lehernya, hangat dan menenangkan. Dia hampir tertidur kalau saja dia tidak sedang bertengger di atas pohon.
Jullina pasti sudah turun dari pohon kalau tidak ada buaya yang berenang di bawahnya. Satu mata kuningnya tertuju pada otot betisnya yang berkembang dengan baik. Dan buaya itu tidak akan berenang di bawah pohon kalau Bangkok tidak banjir. Dan dia pasti sudah berada di bandara kalau dia tadi pergi ke hotel untuk berkemas alih-alih naik tuk-tuk keliling kota untuk bertamasya di jam-jam terakhir. Dan sekarang, siapa yang tahu kapan ia akan pulang? Kapan dia akan sampai di rumah?
Ikan, sapu lidi, bunga, bangku taman, boneka gajah, wadah beras, cangkir kopi, semuanya hanyut dalam air yang bergolak. Kantong gigi yang berenang itu masih menunggu. Satu-satunya suara yang bisa didengar Jullina adalah suara air mengalir deras, penuh dengan puing-puing.
Dia mengetukkan tumitnya-apa ruginya?-tetapi alih-alih dibawa pulang ke LA, sepatu kanannya malah jatuh ke air di bawahnya.
***
Dia hanya bermaksud menutup matanya sekejap, tetapi langit penuh sinar matahari terbenam saat dia membukanya lagi. Dia menegang mengingat di mana dia berada dan meraih kulit pohon yang licin. Sepatunya yang tinggal terciprat ke dalam lumpur. Cipratan itu diikuti oleh gigitan dan tamparan.
Dia mengintip ke bawah. Dia haus. Dia ingin sepatunya kembali. Buaya itu, menurutnya, punya rencana lain.
"Hei!" Jullina menggoyangkan tas kerjanya. "Lihat ini? Pergi atau aku akan membuatmu menjadi sepasang sarung tangan."
"Aku sangat meragukan itu," kata buaya itu.
Dia pasti belum sepenuhnya terbangun dari tidurnya. Tetap saja, dia menjawab. "Kau memakan sepatuku."