Aku berdiri di depan kue cincin sambil mengerutkan kening saat melihat dua kawah kecil di atasnya. Apa yang kulewatkan? Tidak cukup mentega di dasar loyang?
Marlena menggedor pintu dapur, pengki dikepit di bawah ketiaknya. "Masih mengerjakan kue itu? Ya ampun, Nak, anggota dewan akan tiba di sini satu jam lagi."
Aku menyipitkan mata sialau terkena sinar matahari yang menyorot dari jendela. "Menurutmu, Bi, Â aku tidak mengetahuinya?"
Marlena bolak balik membawa pengki ke dalam lemari sapu dan keluar tanpa henti. Dia menggelengkan kepalanya, dan rambut ikal pendek yang disemprot hairspray lekat menjadi satu kesatuan.
"Aku akan menyiapkan gaunmu. Tuhan tahu kamu tidak akan membiarkan aku menyentuh kue itu."
Aku membekukan kuenya dan menghiasinya dengan strawberi yang mengkilap, menata buah yang indah seperti seorang seniman ulung.
Syukurlah para anggota dewan hanya melakukan kunjungan sore hari. Butuh waktu berhari-hari untuk memasak agar bisa membuat kue favorit yang bisa aku tinggalkan, dan menunda pertemuan tentu saja tidak akan membuat anggota dewan menyukai perjuanganku.
Sambil melepaskan celemek, aku membawa kue itu ke ruang tamu yang sudah ditata rapi. Berkacak pinggang dan mengamati rumah tercintaku, lewat pintu di sebelah kiri, aku bisa melihat tangga besar yang sudah lapuk. Di sebelah kanan, langit-langit yang melorot di ruang tamu menunjukkan adanya atap yang bocor.
Bagaimana segalanya bisa menjadi serba salah dalam sepuluh tahun yang singkat? Kalau saja aku dulu tidak bersekolah kuliner...
Tidak ada penyesalan. Aku harus menghadapi apa yang ada di depanku sekarang.