Dia membelah kue keberuntungan menjadi dua dan memberiku setengahnya berikut kertas ramalan.
Aku merapikan kertas dan memasang kacamata bacaku. Bunyinya, Saat aku ingin gembira, aku pergi mencari Tania, Aromanya seperti surga, bagai mawar, dadanya seperti anak rusa kembar, aku akan mencintainya sampai mati.
"Aku ingat." Tania merangkulku.
"Aku juga," kataku.
Dia mengambil kertas itu dariku dan membacanya keras-keras. "Orang yang cantik, cerdas, dan penuh cinta akan datang ke dalam hidupmu."
Perawat muncul di ambang pintu. "Pak Irfan, Dr. Riza akan menemui Anda sekarang. Anda boleh membawa masuk istri Anda untuk memegang tangan Anda."
Aku membuka mulut untuk mengoreksi perawat tentang hubungan kami, tetapi Tania berkata, "Ayo, sayang."
Aku mencoba menolak. "Tapi kamu akan ketinggalan...."
Tania mengacungkan jarinya sebagai tanda "diam" dan berkata, "Sudahlah, Pan. Apa bedanya?"
Kami berdiri di sana, bersama lagi, seperti yang kami lakukan puluhan tahun silam. Kali ini, aku meraih lengannya dan kami berjalan mengikuti perawat.
Semuanya berbeda kini.