Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

CMP 100: Apa Bedanya?

9 Juli 2023   09:36 Diperbarui: 9 Juli 2023   09:39 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Penghujung hari di klinik dokter spesialis kulit. 

Hanya ada aku dan pasien tertutup masker lainnya di ruang tunggu prosedur minor menjaga jarak sosial. Ketika resepsionis menyebut nama seorang perempuan untuk menuntaskan berkasnya, dia menyebutkan nama yang bahkan lebih dari tujuh puluh tahun setelahnya tidak pernah gagal membuatku menoleh.

"Tania, bawa ini kembali dengan kartu asuransi dan SIM Anda."

Aku hanya pernah menulis satu puisi selama sembilan puluh lima tahun hidupku yang menjadi tugas di HBS kota kami. Kelas satu hingga kelas tiga bertemu di kelas yang sama dan penekanannya adalah matematika dan tata bahasa. Dan tidak seorang pun, termasuk gurunya, tahu bahwa sebuah puisi tidak harus berima.

Aku tidak dibolehkan untuk membacanya di depan kelas. Bukan karena itu tentang seorang gadis muda dengan rambut hitam berkilau dan mata cokelat yang duduk dua baris di depan. Tetapi karena, kata guru itu, dia tidak akan pernah mengizinkan 'puisi semacam itu'. Sangat sopan menurut standar sekarang. Dan satu-satunya hal yang aku tahu tentang payudara adalah susu untuk adik-adik, sapi perah di Lembang ... dan Tania.

Terakhir kali melihatnya, aku mendapat karcis kereta api menuju ke kamp pelatihan di Pangkalan Angkatan Laut Surabaya keesokan paginya. Dia meminjam truk pengangkut sapi pamannya dan mengisi tempat tidur dengan selimut yang dibuat neneknya.

Cucu-cucuku, bahkan anak-anakku sendiri yang kuliah di tahun enam puluhan akan tertawa terbahak-bahak jika mereka tahu tentang aku yang berkeringat dan setengah telanjang berbaring di samping Tania di bawah sinar bulan September menjelaskan mengapa kami perlu menahan diri.

"Sialan, Pan! Entah ulama atau pastur sialan mana yang telah mencuci otakmu." Dia berguling ke arahku dan menutupi bibirku dengan ciuman penuh gairah. "Selain itu, apa bedanya?"

Harus segera berhenti atau tidak sama sekali. Aku memberi tahu Tania bahwa aku akan menikahinya begitu aku sampai di rumah. Dia melompat terlempar keluar dari bak truk dengan gusar dan aku mengikutinya. Hal berikutnya yang aku tahu, pintu truk dibanting dan melesat melewatiku. Tania tidak pernah melihat ke belakang.

Aku bertanya-tanya apakah dia bahkan mengenaliku sekarang, kepala botakku dan punggungku tidak selurus 1948. Tapi aku tahu itu dia. Rambut abu-abu dipotong pendek. Dia mengenakan kacamata gaya dan dengan tepat menggambar alisnya seperti biasa. Tubuhnya langsing. Tidak mengherankan, dia bertekad untuk tidak membungkuk.

"Tania?" tanyaku, berdiri saat dia berjalan melewatiku.

Dia berhenti dan mengamati kerutanku seolah-olah dia mencoba melihat menembus jiwaku. "Apakah kita pernah bertemu?"

"Irfan Hakim." Aku mengulurkan tangan, masih khawatir apakah tidak melanggar aturan jaga jarak.

Dia menatap sedetik lebih lama, lalu memelukku dengan pelukan seorang ibu. "Ya Tuhan," katanya ke telingaku yang masih mampu mendengar. Dia berdiri kembali dan menatapku dari atas ke bawah.

Katanya lansia suka berbicara sembrono tanpa menyaring kata-kata. Tapi Tania memang tidak pernah berpikir. "Kupikir kau sudah mati," katanya.

"Terbukti sebaliknya," kataku. "Kamu terlihat sehat, bisa kulihat itu!"

Tania duduk di kursi di sebelah kursiku yang bertuliskan JAGA JARAK, mengeretku ke sampingnya dengan menarik lengan jaketku. Dia melirik tangan kiriku, jari keempat.

"Dia meninggal enam tahun lalu," aku menjelaskan. "Kamu nggak kenal."

Tania mengangguk.

"Apa yang kamu lakukan? Setelah aku pergi?" aku bertanya.

Tania tidak menjawab, tetapi meraih tanganku dan bertanya, "Apa yang kamu lakukan di sini?"

Aku merasakan jantungku berdebar karena kehangatan jari-jarinya dan cengkeramannya yang erat. Aku pikir mungkin karena masuk angin sampai rasa nyaman menyebar ke dadaku dan menyadari bahwa aku tidak merasakan sakit. Tidak sama sekali.

Aku menurunkan masker wajahku untuk menunjukkan padanya alien bersisik yang hinggap di ujung hidungku. "Sel basal," kataku.

Tania menarik ke atas blus motif bunganya, mengangkat payudara kirinya yang tanpa bra, dan menunjukkan titik hitam di bagian bawah.

"Moly, jangan!" kataku sambil menarik turun bajunya.

Dia memutar matanya. "Apa bedanya? Cuma kita yang ada di sini. Ini melanoma. Allodokter bilang aku akan mati. Bertahun-tahun berjemur tanpa beha. Alasan bagus lainnya orang tua tidak boleh berhenti berhubungan seks. Bagaimana aku bisa melihatnya kalau adanya di bawah tetek? Kamu sudah pernah, kan?"

Rasa malu meninggalkanku, dan aku merasakan bibirku bergetar.

"Oh, tolong, Pan. Tanpa air mata. Selain itu, aku lapar. Yuk makan."

Tertegun, aku duduk di sampingnya saat dia mengobrak-abrik tasnya. "Aku biasanya punya sesuatu di sini untuk gula darah rendah."

Dia mengeluarkan kue keberuntungan. "Kita harus membaginya. Tetapi karena kamu akan hidup lebih lama, kamu yang beruntung."

Aku tergagap, "Tania, kita tidak boleh makan apa pun sebelum pemeriksaan darah."

Dia menggelengkan kepalanya. "Kau tahu, Pan. Kau belum berubah sedikit pun kecuali benda di hidungmu. AKu yakin kau masih tukang cium yang hebat."

Dia membelah kue keberuntungan menjadi dua dan memberiku setengahnya berikut kertas ramalan.

Aku merapikan kertas dan memasang kacamata bacaku. Bunyinya, Saat aku ingin gembira, aku pergi mencari Tania, Aromanya seperti surga, bagai mawar, dadanya seperti anak rusa kembar, aku akan mencintainya sampai mati.

"Aku ingat." Tania merangkulku.

"Aku juga," kataku.

Dia mengambil kertas itu dariku dan membacanya keras-keras. "Orang yang cantik, cerdas, dan penuh cinta akan datang ke dalam hidupmu."

Perawat muncul di ambang pintu. "Pak Irfan, Dr. Riza akan menemui Anda sekarang. Anda boleh membawa masuk istri Anda untuk memegang tangan Anda."

Aku membuka mulut untuk mengoreksi perawat tentang hubungan kami, tetapi Tania berkata, "Ayo, sayang."

Aku mencoba menolak. "Tapi kamu akan ketinggalan...."

Tania mengacungkan jarinya sebagai tanda "diam" dan berkata, "Sudahlah, Pan. Apa bedanya?"

Kami berdiri di sana, bersama lagi, seperti yang kami lakukan puluhan tahun silam. Kali ini, aku meraih lengannya dan kami berjalan mengikuti perawat.

Semuanya berbeda kini.

Tangsel, 9 Juli 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun