Aku merasakan jantungku berdebar karena kehangatan jari-jarinya dan cengkeramannya yang erat. Aku pikir mungkin karena masuk angin sampai rasa nyaman menyebar ke dadaku dan menyadari bahwa aku tidak merasakan sakit. Tidak sama sekali.
Aku menurunkan masker wajahku untuk menunjukkan padanya alien bersisik yang hinggap di ujung hidungku. "Sel basal," kataku.
Tania menarik ke atas blus motif bunganya, mengangkat payudara kirinya yang tanpa bra, dan menunjukkan titik hitam di bagian bawah.
"Moly, jangan!" kataku sambil menarik turun bajunya.
Dia memutar matanya. "Apa bedanya? Cuma kita yang ada di sini. Ini melanoma. Allodokter bilang aku akan mati. Bertahun-tahun berjemur tanpa beha. Alasan bagus lainnya orang tua tidak boleh berhenti berhubungan seks. Bagaimana aku bisa melihatnya kalau adanya di bawah tetek? Kamu sudah pernah, kan?"
Rasa malu meninggalkanku, dan aku merasakan bibirku bergetar.
"Oh, tolong, Pan. Tanpa air mata. Selain itu, aku lapar. Yuk makan."
Tertegun, aku duduk di sampingnya saat dia mengobrak-abrik tasnya. "Aku biasanya punya sesuatu di sini untuk gula darah rendah."
Dia mengeluarkan kue keberuntungan. "Kita harus membaginya. Tetapi karena kamu akan hidup lebih lama, kamu yang beruntung."
Aku tergagap, "Tania, kita tidak boleh makan apa pun sebelum pemeriksaan darah."
Dia menggelengkan kepalanya. "Kau tahu, Pan. Kau belum berubah sedikit pun kecuali benda di hidungmu. AKu yakin kau masih tukang cium yang hebat."