Tiwi meneguk air dari batok kelapa sepuasnya sebelum melepaskannya kembali, menggunakan jari-jarinya untuk mengambil sesuatu dari lidahnya.
Dia melihat ke dalam air dan tampak bintik-bintik hitam mengambang di dalamnya. Mengintip lebih dekat, dia menyadari itu adalah abu dari pembakaran. Tidak heran Miko tidak terburu-buru untuk minum.
"Apakah kalian berdua siap untuk kembali bekerja?" tanya Zaki.
Miko keluar dari laut dan melipat tangannya. "Lihat, Zak. Kayunya ditumpuk, dan apinya berkobar. Menurut lu, apakah masih kurang usaha kita? Lu mau kita kena heatstroke? Santai sejenak, Bro. Baru kita mulai bikin tempat berteduh yang lebih bagus."
"Kompromi yang bagus," kata Tiwi.
Zaki minum dari batok kelapa. "Gue setuju kita udah kerja keras, tetapi kita harus menyelesaikan ini."
Biasanya Miko dan Zaki tidak pernah bertengkar, tapi sekarang mereka sering ribut. Sikap riang Miko bertabrakan dengan kepribadian Zaki yang gila kerja dan perfeksionis.
Tiwi meletakkan batok kelapa dan mencoba mendinginkan suasana. Tatapannya beradu dengan mata Zaki. "Mau tahu apa yang membantu Miko rileks?"
"Cewek-cewek?"
Tiwi menggelengkan kepala. Zaki tidak salah. "Bukan, hobinya yang lain, berselancar."
Wajah Miko berseri-seri, dan nadanya riang menyenangkan.
"Nggak mungkin! Lu mustahil bisa. Lu nggak bisa bangun suatu hari dan mendadak mikir, 'Ah, gue pingin berselancar' Cuma supaya lu dibilang keren. Nggak gitu caranya. Surfing itu seperti bawaan orok, ada dalam DNA. Entah lu punya dari lahir apa nggak. Gue mulai berselancar waktu umur gue dua tahun."
"Tuh, Wi? Gue nggak punya bakan surfing dalam gue," kata Zaki.
Miko terkekeh dan menepuk punggungnya. "Jangan merasa jelek. Nggak semua orang bisa jadi keren."
"Lu nggak usah ngomong gitu, Bro." Zaki tertawa sambil melangkah ke arah Miko.
Tiwi langsung menghadang jalannya untuk mencegah Zaki menyerang Miko. Dia menahan senyumnya sambil menyilangkan tangan dan mengerutkan alis padanya. "Jangan terlalu cepat, tough guy. Kamu harus melewati aku terlebih dahulu. "
Senyum main-main menari-nari di bibir Zaki saat dia menatap Tiwi. Mata birunya berbinar. "Lu salah satu back sepak bola cewek paling hebat yang gue tahu, tetapi gue nggak begitu yakin lu bisa menahan serangan seorang pemain basket."
Zaki benar. Tiwi tahu dia bisa dengan mudah menjegalnya. Kesempatan apa yang dia miliki menghadapi dadanya yang lebar dan bahunya yang kukuh?
Zaki menyisir rambutnya yang tebal dari matanya dengan jari lalu menyeringai, seperti dia bisa membaca pikiran Tiwi. Tiwi menyukai rambut cokelatnya yang berantakan.
Tiwi meraih lengan Miko sambil terkikik. "Lari!"
Mereka berdua berbalik dan berlari menyusuri pantai. Pasir yang lepas menyembur saat mereka berlari. Tiwi melirik ke belakang ke arah Zaki  yang mengejar dengan cepat. Saat berbelok di tikungan, sesuatu yang aneh menarik perhatiannya: lekukan berujung tiga, berukuran panjang satu meter. Dia tersentak berhenti dan merasakan tulang punggungnya gemetar.
Jejak burung! Jejak burung raksasa!
Miko terpeleset hingga berhenti, menyebabkan Zaki menabraknya dari belakang. Zaki, pada gilirannya, hampir membuat Tiwi jatuh. Gadis itu tersandung, merentangkan tangannya untuk menahan diri agar tidak oleng.
"Lihat!" dia berbisik dan menunjuk jejak aneh yang terbentang di pantai membentuk pola zig-zag yang lebar, berkilauan di pasir, lalu menutup mulutnya dengan tangan. Miko menatap dengan mata terbelalak, dan Zaki berdiri mematung kaku.
Tiwi menggelengkan kepala perlahan. Awalnya, dia tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Sambil menyipitkan mata melawan sinar matahari yang terang benderang, dia mengerjap keras. Tetapi begitu dia membuka mata, jejak itu masih ada.
Hewan apa yang bisa meninggalkan jejak kaki begitu besar? Apa pun itu, itu pasti sangat besar. Sangat, sangat  besar.
"Apa apaan?"
"Wah," kata Zaki.
"Wow! Apa itu?" Miko beringsut mendekat.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H