Tiwi menggelengkan kepala. Zaki tidak salah. "Bukan, hobinya yang lain, berselancar."
Wajah Miko berseri-seri, dan nadanya riang menyenangkan.
"Nggak mungkin! Lu mustahil bisa. Lu nggak bisa bangun suatu hari dan mendadak mikir, 'Ah, gue pingin berselancar' Cuma supaya lu dibilang keren. Nggak gitu caranya. Surfing itu seperti bawaan orok, ada dalam DNA. Entah lu punya dari lahir apa nggak. Gue mulai berselancar waktu umur gue dua tahun."
"Tuh, Wi? Gue nggak punya bakan surfing dalam gue," kata Zaki.
Miko terkekeh dan menepuk punggungnya. "Jangan merasa jelek. Nggak semua orang bisa jadi keren."
"Lu nggak usah ngomong gitu, Bro." Zaki tertawa sambil melangkah ke arah Miko.
Tiwi langsung menghadang jalannya untuk mencegah Zaki menyerang Miko. Dia menahan senyumnya sambil menyilangkan tangan dan mengerutkan alis padanya. "Jangan terlalu cepat, tough guy. Kamu harus melewati aku terlebih dahulu. "
Senyum main-main menari-nari di bibir Zaki saat dia menatap Tiwi. Mata birunya berbinar. "Lu salah satu back sepak bola cewek paling hebat yang gue tahu, tetapi gue nggak begitu yakin lu bisa menahan serangan seorang pemain basket."
Zaki benar. Tiwi tahu dia bisa dengan mudah menjegalnya. Kesempatan apa yang dia miliki menghadapi dadanya yang lebar dan bahunya yang kukuh?
Zaki menyisir rambutnya yang tebal dari matanya dengan jari lalu menyeringai, seperti dia bisa membaca pikiran Tiwi. Tiwi menyukai rambut cokelatnya yang berantakan.
Tiwi meraih lengan Miko sambil terkikik. "Lari!"