Semilir angin sejuk lembut menerpa wajah Tiwi. Rasanya luar biasa di kulitnya yang panas, tetapi dia berharap tidak terlalu berangin supaya api tak padam. "Bagaimana kalau kita sampai tidak punya api?"
Zaki mengangkat bahu. "Cara kuno, gue rasa - tongkat kayu digosok-gosok."
Tiwi menyeringai dan menyenggol lengannya. "Bagus! Karena kita harus punya api juga besok. "
Menatap Tiwi, Zaki tersenyum. "Gue tahu banyak cara untuk membuat api. Itu yang paling primitif, tetapi yang jelas kita tetap punya api."
Zaki menempatkan tumpukan daun kelapa di samping masing-masing tiga api unggun. "Kita harus tetap di sini di pantai. Area ini terbuka. Helikopter punya peluang yang sangat bagus untuk melihat sinyal SOS kita."
Matahari bersinar cerah dan angin pagi yang sejuk terasa nyaman. Tiwi melemparkan kayu ke dalam api. Dia berpikir tentang penyelamatan. Berapa lama mereka akan menemukan kita? Pertanyaan lain juga menghantuinya. Apakah kita benar-benar harus bermalam di sini? Di mana kita akan tidur? Dia merasa seharusnya mereka membuat alas tidur dan selimut dari tumbuh-tumbuhan kering. Namun, daun kelapa dan kulit kayu terdengar agak gatal, dan berbagi tempat tidur dengan serangga aneh yang akan menempel di kulit yang menyedot darah hingga kering dari setiap sel darah merah di tubuhnya... yah, itu juga tidak akan terjadi. Dia memutuskan dengan senang hati mandi lulur jus rayap Zaki untuk mengusir setiap serangga dalam radius lima puluh kilometer.
Tiwi sudah tidak mengkhawatirkan tentang makanan lagi. Miko dan dia bisa menangkap ikan dengan tangan kosong, dan Zaki bisa menyianginya. Ada air bersih untuk diminum, ditambah api untuk memasak dan menghangatkan diri di malam hari.
Nyala api mencapai ke udara seperti jari-jari panjang saat dia memutar batang kayu yang berderak dengan tongkat. Bunga api menari-nari seperti kunang-kunang. Panas yang menyengat menghanguskan lengannya, dan dia melangkah mundur. "Aku akan mulai mencari beberapa batang kayu yang lebih besar agar kita bisa---"
Raungan keras di kejauhan menginterupsinya. Jeritan ratapan bergema, seperti tangisan binatang buas. Tiwi memutar kepalanya sambil melompat.
"Apa itu tadi?" Bulu kuduknya berdiri. Miko dan Zaki saling bertukar pandang.
"Hei, Zak. Lu kan udah sering keliling rimba dengan mama lu, "kata Miko. "banatang apa yang suaranya serem gitu?"
"Nggak bisa mastiin. Gue harus dengerin sekali lagi."
Miko mengguncang bahu Tiwi. " Kedengarannya seperti singa."
Itu adalah sesuatu yang tidak ingin didengar Tiwi. Bulu kuduknya kembali berdiri tegak. "Nggak mungkin, Mustahil. Singa Cuma ada di Afrika atau India... betul kan, Zak?"
Dengan alis terangkat, Zak menatap ke hutan. "Kurang lebih."
Miko berlari menuju hutan tanpa berpikir dua kali.
Tiwi menatap Zaki, dan dia hanya menggelengkan kepalanya dan mengangkat bahu.
Mengapa Miko selalu harus membuktikan sesuatu? Atau apakah dia benar-benar menyukai bahaya dan mengambil risiko?
"Yo, Mik!" Tiwi berteriak. "Kamu mau kemana?"
"Gue mau ngecek, singa apa bukan!" Miko balas berteriak.
Zaki menghela napas. "Baiknya kita jemput itu anak."
"Ya, atau dia akan memburu apapun itu jauh ke dalam entah-di-mana."
Tiwi berlari mengejar Miko. Ranting dan dahan patah di bawah kakinya saat dia menyusuri hutan tropis. Untung Miko belum jauh sehingga dia bisa menarik baju cowok itu untuk mendapatkan perhatiannya.
Terakhir kali Miko mencoba sesuatu yang sangat bodoh, dia berusia empat tahun. Dia mengejar dua rusa ke dalam hutan, dan sebuah regu pencari menemukannya enam jam kemudian. Tiwi mengira Miko memang suka mencari sensasi, atau mungkin itu memang bawaan orok yang tertulis di rangkaian DNA-nya.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H