Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Badai Takdir (Tujuh Belas)

19 April 2023   20:48 Diperbarui: 19 April 2023   20:56 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Sebelumnya....

Sarritha membiarkan pikirannya pergi entah ke mana. Butuh beberapa saat tetapi dia berhasil mengosongkan benaknya. Akhirnya Thozai berkata, "dalam darahmu mengalir jiwa seorang pejuang dan bukan hanya seorang penjaga kerajaan. Kamu tahu semua yang perlu kamu ketahui. Senjatamu adalah sekutumu yang terpercaya dan kudamu adalah teman terbaikmu. Alam sekitar adalah pelindungmu."

Thozai mengulanginya berkali-kali hingga suaranya terdengar memudar. Kemudian, seolah-olah angin sepoi-sepoi, dia nyaris tidak mendengarnya. "Kamu tahu ke mana harus pergi."

Sarritha merasa dirinya melayang di malam hari dia. Kegelapan meneyelimuti  di sekelilingnya, tapi dia tetap tenang.

Lalu semuanya berubah dengan sangat perlahan. Kegelapan menjadi terang dan segala sesuatu di sekitarnya sedang dibentuk menjadi sesuatu.

Dia berada di tengah ladang dengan rumput panjang, tetapi rumputnya mengering. Angin sepoi-sepoi dan matahari terasa lembut di kulitnya. Lalu Thozai muncul entah dari mana.

"Di mana kita?" tanyanya mulai khawatir.

"Tenang," jawabnya dengan suara lembut sambil melihat ke cakrawala. Sepertinya badai sedang terjadi di kejauhan. Sarritha menarik napas dalam-dalam dan melihat bahwa badai itu mereda. "Bagus," Thozai tersenyum. "Ayo, kita akan jalan kaki."

Dia menarik lengan Sarritha dan mulai berjalan.

"Kita mau kemana?" tanya gadis itu.

"Sungguh Sarritha, bisa tidak kamu tutup mulut setidaknya lima menit sebelum mengatakan sesuatu?"

Sarritha tahu Thozai tak butuh jawaban, maka dia hanya diam. "Kita akan menemui teman-temanmu."

Sarritha ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia memilih untuk diam.

Mereka berjalan selama hampir satu jam atau mungkin lebih, tetapi Sarritha tak bisa menebak karena matahari tak bergerak. Thozai tampak tenang, membuat Sarritha iri padanya.

Lalu tibaThozai -tiba berhenti.

"Kamu harus pergi sendiri," katanya sambil melepaskan pegangan Sarritha dari lengannya. "Mereka telah menunggumu."

"Guru mau ke mana?" Sarritha bertanya setenang mungkin.

"Aku akan berada di sisi ini. Kamu bisa melihatku dari sana," jawab Thozai sambil menunjuk. Ketika Sarritha menoleh ke arah itu, dia melihat sekelompok gadis. Dia kembali menoleh ke arah Thozai dan melihat sorot mata meyakinkan di matanya.

Tanpa berkata sepatah kata lgi, Sarritha mulai berjalan menuju kelompok itu. Saat dia mendekat, salah satu dari mereka melihatnya terlebih dahulu, kemudian yang lain ikut menatapnya.

Dia terus berjalan ke arah mereka dan akhirnya bisa melihat wajah mereka. Dia sedang melihat lima kembaran dirinya, kecuali rambut mereka seluruhnya putih.

Salah satu dari mereka datang menemuinya. Dia dan gadis itu saling memandang. Sarritha berdiri diam ketika yang lain berjalan di sekelilingnya dan kemudian dia menyentuh rambutnya dan datang dan berdiri di depannya.

"Kenapa rambutmu ada putih-putihnya?" Sarritha mendengar suaranya bertanya.

"Sudah seperti itu sejak aku bisa mengingat," Sarrita menjawab. Senyum perlahan berkembang dari gadis yang berdiri di depannya.

Dia menoleh ke yang lain dan berseru, "Dia sudah kembali. Ayo, beri salam." Kemudian kembali menoleh ke Sarrlita dan berkata, "Aku Aghea dari Bumi."

Yang lain datang mengelilinginya dan mulai memperkenalkan diri mereka satu per satu. "Aku Fenisha dari Api."

"Aku Aqilla Air."

"Aku Luminna Cahaya."

"Dan aku Darshia dari Gelap."

Aghea bertanya, "Dan kamu adalah ... ?"

"Sarritha," jawabnya terkejut karena suara dan dan wajah mereka yang mirip dengannya.

"Hanya Sarritha?" salah satu dari mereka bertanya tidak percaya.

"Tidak, Sarritha Fis."

"Dari apa?"

"Anak-anak," Aghea menyela, "Dia baru saja tiba. Bisakah kita setidaknya menyambutnya terlebih dahulu sebelum mengajukan pertanyaan?""

Mereka kembali ke tempat semula mereka berdiri. "Maaf, ya. Mereka suka bertanya yang aneh-aneh kalau ada orang baru. Biasa, ingin tahu segalanya pada pertemuan pertama."

"Kamu siapa?" Sarrita bertanya.

"Rasanya tadi aku sudah jawab, lo. Namaku Aghea," katanya lalu menoleh ke yang lain. "Beri tempat," dia memerintahkan dan yang lain menyingkir.

Sarritha memperhatikan dengan rasa ingin tahu. Aghea bergabung dengan yang lain dan mulai berkonsentrasi. Tiba-tiba dia merasakan bumki bergetar  dan tanah perlahan naik. Sebuah batu halus mulus muncul dan kemudian berhenti ketika mencapai ketinggian meja. Kemudian yang lebih kecil muncul. Setelah selesai, yang lain duduk. Aghea menariknya ke salah satu kursi batu.

"Bagaimana kamu melakukannya?" Sarrita bertanya.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun