"Enaknya ngapain kita? Hoaaam...," tanya Peyi Cantoi, menguap menyebarkan aroma surga.
"Tunggu azan Asar, mau ngapain lagi?" jawab Bulbul Kiting. Jarinya mencabuti satu-satu rambutnya yang jarang dicuci.
"Ngapain, kek. Bosen tiap hari gini terus. Ada usul?" tanggap Dowes Ijok sambil mengelus pusarnya yang terbuka. Kemudian dia berguling tengkurap, tetap dengan area perut menganga.
Hanya Mahiwal yang diam tak bersuara. Matanya terpejam membayangkan kolak pisang yang menanti di rumah.
Empat sekawan---Mahiwal, Peyi Cantoi, Bulbul Kiting, Dowes Ijok---sedang gegoleran di lantai marmer Masjid Raya Baiturrahman yang adem. Bukan hanya mereka saja, tetapi puluhan tubuh-tubuh lemah lunglai tak berdaya hari kedua terakhir bulan Ramadan tergolek nyaris tak bergerak di masjid yang menjadi kebanggaan warga kota Banda Aceh tersebut. Beberapa orang mendaras Al-Qur'an dengan suara lembut, merdu, syahdu.
Setiap bulan Ramadan, sudah menjadi menjadi tradisi bagi keempat anak kelas tiga SMP itu untuk 'tidur siang' di masjid yang terletak di pusat kota dan menjadi landmark penghias kalender dan kartu pos.
Saat itu belum ada tradisi mudik. Jangankan para pendatang seperti para pejabat kantor provinsi yang umumnya berasal dari Pulau Jawa, di hari yang Fitri, pemukim yang kampung halamannya hanya 'sepelemparan batu' dari Banda Aceh, seperti Montasik atau Seulimum, belum tentu pulang kampung.
Mendadak Peyi bangkit dan berseru, "Besok kita ke Ulee Lheue cari cu, yuk!"
Suaranya yang keras mengusik orang-orang disekitar mereka, mengundang paduan 'Sssst' dan pelototan banyak mata.
"Mau jam berapa kita ke sana?" tanya Mahiwal. Bayangan kolak pisang digantikan dengan gule cu pliek u yang gurih. Dan ternyata bukan Mahiwal saja. Dowes sudah meneteskan air liur memimpikan hidangan berbuka aneka rupa. Tidur dia!
Setelah membangunkan Dowes, mereka kemudian berunding mematangkan rencana tersebut, sampai akhirnya diusir marbot masjid dengan tongkat kayu yang menjadi gagang pel lantai, karena mengganggu ketentraman masjid. Mereka pulang diiringi nyanyian gembira burung walet penghuni Masjid Raya Baiturrahman yang baru pulang dari mencari takjil untuk iftar nanti.
***
"Kalau puasa begini, Ulee Lheue rasanya kok jauh kali, ya?" ucap Dowes. Napasnya ngos-ngosan. Keringat mengucur deras dari rambutnya yang kaku seperti sapu ijuk.
"Makanya, puasa tuh olah raga, jangan cuma tidur melulu," ejek Bulbul. Padahal keringatnya juga membanjir membasahi baju kaus merk Swan yang menjadi ciri khasnya.
Mereka berempat mengayuh sepeda masing-masing menempuh jarak lima kilometer Banda Aceh -- Ulee Lheue. Dowes dengan sepeda onthel,Peyi menggowes sepeda janda, Bulbul sepeda mini yang setangnya dimodifikasi mencuat ke atas seperti tanduk kerbau, dan Mahiwal dengan sepeda mini biasa. Maksudnya biasa, di depan ada keranjangnya.
Tujuan mereka adalah bawah jembatan muara tempat sungai bertemu laut.
Sesampai di lokasi, mereka berempat segera mencopot baju dan terjun ke dalam kali yang rada butek karena air pasang bulan mati. Tangan masing-masing meraba dasar sungai yang dangkal, mencari siput muara yang biasa dijadikan sumber asupan protein tambahan.
Peyi yang pertama nongol ke permukaan air. "Horeee! Aku dapat banyak!" seru Peyi kegirangan sambil mengacungkan segenggam keong patarana dengan panjang sekitar tiga sentimeter dan berujung runcing.
Dalam hitungan detik, Mahiwal menyusul dengan kedua tangan menggenggam keong sejenis. Dan berikutnya giliran Bulbul menyeruak dengan ... tangan kosong. "Lepas," katanya.
Ditunggu-tunggu, Dowes tak juga muncul. Sepuluh detik ... dua puluh detik ... dua puluh lima detik ..., bocah berambut ijuk itu tak juga menampakkan batang hidungnya.
Peyi panik. "Waduh, bagaimana kalau Dowes mati tenggelam?"
"Kee[i]Â harus tanggung jawab bilang ke bapaknya," kata Bulbul.
 "Sama-sama kita ngomong, jangan aku aja," protes Peyi.
 "Tapi kan kee yang ajak kami ke sini?"
 Sebelum pertengkaran berlanjut makin rame, sebentuk kelapa, eh, kepala menyembul ke permukaan tak jauh dari mereka.
 Dowes melambai tangan. "Kawan-kawan! Enak berenang di sini!" teriaknya.
 "Dasar kam...!" Peyi nyaris mengucapkan nama hewan mirip tikus tapi bisa terbang. Untung dia ingat kalau masih puasa.
 Mereka bolak-balik menyelam timbul tenggelam untuk meraup keong patarana yang dalam bahasa Aceh disebut ciput cu. Orang-orang yang berlalu lalang melintas jembatan melihat mereka sambil geleng-geleng kepala.
 Akhirnya, masing-masing berhasil mengumpulkan satu kantong plastik kresek besar untuk dibawa pulang. Bersamaan azan Asar, mereka sudah sampai di rumah masing-masing. Entah puasanya masih sah atau tidak. Yang jelas Dowes sudah terteguk air muara yang rada-rada payau.
 ***
 "Dari mana?" tanya Ibu pada Mahiwal.
 "Ini, Bu," jawab Mahiwal sambil menyerahkan kantong plastik kresek.
 "Apa ini? Astagfirullah, ngapain bawa cu? Dapat dari mana?" tanya Ibu.
 "Dari Ulee Lheue," jawab Mahiwal. Untung dalam perjalanan pulang, celananya kering dengan sendirinya.
 "Ya sudah, rendam dulu dalam ember biar pasirnya keluar semua. Nanti kamu yang potong ujungnya dengan tang."
 Mahiwal buru-buru mandi dan salat Asar.
 Setelah iftar, dia berangkat ke Masjid Raya untuk tarawih terakhir. Dan setelah itu dia buru-buru pulang untuk memotong ujung keong. Sama seperti keong tutut Bandung, ujung dipotong supaya dagingnya gampang disedot.
 "Besok kamu beli bumbu-bumbu ke pasar. Kita tidak punya persediaan pliek u[ii]," kata Ibu.
 Sementara adik-adiknya membantu Ibu menyusun kue kering dalam stoples dan kaleng biskuit, Mahiwal bersusah payah mematahkan ujung keong dengan tang. Tak ayal tangannya melepuh dan kapalan.
 Sahur terakhir selalu menjadi sahur yang paling menyedihkan. Satu keluarga nyaris terlambat bangun.
 Buru-buru minum segelas oatmeal yang jadi cadangan saat darurat dan menghabiskan segelas teh hangat tanpa jeda karena sirene imsak sudah meraung-raung, Mahiwal kemudian menuju Masjid Raya untuk salat Subuh.
 Saat khotbah bakda Subuh, di saf pria paling belakang, keempat bocah lelaki itu membanding-bandingkan tangan siapa yang melepuh dan kapalannya paling parah.
 Mahiwal tidak bisa tidur lagi sepulang dari masjid pagi itu. Dia segera berangkat ke Pasar Aceh yang terletak di belakang Masjid Raya.
 "Jangan lupa beli selongsong ketupat," kata ibunya. "Hari Raya ini tampaknya banyak tamu yang datang."
 Ternyata, di hari terakhir Ramadan, pasar tumpah ruah dengan manusia, kebanyakan bapak-bapak. Hari terakhir puasa juga disebut hari Meugang. Rumah-rumah mengolah daging sapi menjadi aneka rupa menu andalan. Biasanya daging diolah menjadi rendang, asam keueng[iii], atau sie reuboh[iv]. Di Aceh, baik di kota maupun kampung, yang ke pasar biasanya bapak-bapak.
 Saat iftar yang dinanti-nanti tiba. Banyak kendaraan berjajar di sepanjang jalan Masjid Raya yang akan mengikuti takbir keliling. Mobil dengan bak terbuka mengangkut beduk dan pasukan pemain rebana. Empat sekawan memilih berjalan kaki, menyusuri jalan utama, menyeberangi jembatan Pante Pirak yang menghubungkan dua sisi kota, menyusuri Peunayong, pecinan kota Banda Aceh. Peunayong merupakan pusat perdagangan di utara kota yang juga merupakan pemukiman orang-orang Tionghoa. Selanjutnya rombongan takbir keliling menyeberang jembatan Peunayong dan menuju ke Lapangan Blang Padang, garis finish pawai. Besok salat Id akan diadakan di lapangan tersebut.
 Pulang ke rumah, Mahiwal yang litak masih menyempatkan diri mengunyah martabak telor yang dibeli ayahnya di Simpang Lima, sebelum tidur dan bermimpi menyedot daging keong cu yang tak kunjung habis.
 ***
 Setelah salat Id, Mahiwal sungkem mencium lutut dan pipi Ibu, Ayah, Nenek, dan Kakek. Acara berikutnya adalah berkunjung dari rumah ke rumah. Ini tradisi yang paling disukai oleh anak-anak di mana saja.
 Biasanya tuan rumah akan menyelipkan uang ke tangan anak-anak yang jumlahnya bervariasi. Belum lagi aneka makanan yang disuguhkan. Mahiwal paling suka bertamu ke rumah teman-temannya yang merupakan anak pejabat pendatang dari luar daerah. Misalnya rumah Ghea Kartowirjo. Gudeg menjadi hidangan istimewa di Hari Raya di rumah dinas Kepala Kejaksaan Tinggi tersebut. Atau rumah Euis Tresnawati. Oncom merupakan sajian langka yang dikirim khusus dari Bandung untuk meja open house Direktur Bank Indonesia. Tak terkecuali di kediaman teman sekelasnya Puti Linda, rumah dinas Kapolda, terhidang sate Padang yang bikin lidah menari piring.
 Namun hari itu Mahiwal tidak menyentuh satu pun makanan yang menjadi alasannya bertamu ke rumah mereka di tahun-tahun sebelumnya. Segera setelah menerima salam tempel, dia buru-buru bersuluk salam untuk menuju ke rumah berikutnya, Untunglah, rumah dinas para pejabat terkonsentrasi di Jl. Mata Ie. Dia hanya perlu berjalan beberpa langkah untuk mengoleksi lembaran-lembaran rupiah yang akan dihabiskan untuk membeli mainan dan jajanan di depan Masjid Raya nanti siang. Setelah acara beranjangsana ke rumah-rumah orang penting satu kota satu provinsi, dia buru-buru pulang ke rumah.
 ***
 "Bu ... Ibu! Gule cu pliek u-nya mana?" teriaknya begitu membuka tudung saji dari rotan yang menutup piring dan mangkuk di meja makan.
 "Ada apa, sih? Pulang-pulang teriak-teriak. Sana salam dulu sama tamu," ibunya mendelik.
 "Ogah-ogahan, dia menuju ke ruang tamu. Banyak tamu yang dikenal dan juga tak dikenalnya.
 "Eh, Mahiwal sudah besar sekarang," kata seorang perempuan yang Mahiwal tidak ingat siapa namanya.
 "Iya, Kak. Kakak kapan datang?"
 "Apanya yang kakak? Tante baru datang dari Medan. Kita ketemu dua tahun lalu. Kau nginap di rumah Tante di Jl. Amaliun."
 Matilah awak. Manalah awak ingat? gerutu Mahiwal dalam hati.
 Mendadak dia ingat tujuannya buru-buru pulang tadi. Mahiwal menuju ke dapur, membuka tutup-tutup panci. Di mana gerangan cu pliek u berada?
 "Cari apa?" Ibu masuk ke dapur karena mendengar suara berisik tutup panci.
 "Gule cu pliek u, Bu."
 "Sudah habis dimakan tamu. Salah kamu sendiri tidak makan dulu, pulang salat langsung merayap entah ke mana."
 Mahiwal langsung lemas. Rasanya ingin pingsan, tapi kok masih siuman....
Â
Cikarang, 18 April 2023/28 Ramadan 1444 H
Â
Catatan:
[i] kee: dialek Banda Aceh untuk 'kamu' (kasar)
[ii] pliek u: daging kelapa yang dikupas dan dijemur sampai hitam. Bumbu masakan khas Aceh.
[iii] Asam keueng: asam pedas, dengan rasa asam berasal dari belimbing wuluh
[iv] Sie reuboh: daging yang rebus dengan berbagai bumbu.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI