"Apa ini? Astagfirullah, ngapain bawa cu? Dapat dari mana?" tanya Ibu.
 "Dari Ulee Lheue," jawab Mahiwal. Untung dalam perjalanan pulang, celananya kering dengan sendirinya.
 "Ya sudah, rendam dulu dalam ember biar pasirnya keluar semua. Nanti kamu yang potong ujungnya dengan tang."
 Mahiwal buru-buru mandi dan salat Asar.
 Setelah iftar, dia berangkat ke Masjid Raya untuk tarawih terakhir. Dan setelah itu dia buru-buru pulang untuk memotong ujung keong. Sama seperti keong tutut Bandung, ujung dipotong supaya dagingnya gampang disedot.
 "Besok kamu beli bumbu-bumbu ke pasar. Kita tidak punya persediaan pliek u[ii]," kata Ibu.
 Sementara adik-adiknya membantu Ibu menyusun kue kering dalam stoples dan kaleng biskuit, Mahiwal bersusah payah mematahkan ujung keong dengan tang. Tak ayal tangannya melepuh dan kapalan.
 Sahur terakhir selalu menjadi sahur yang paling menyedihkan. Satu keluarga nyaris terlambat bangun.
 Buru-buru minum segelas oatmeal yang jadi cadangan saat darurat dan menghabiskan segelas teh hangat tanpa jeda karena sirene imsak sudah meraung-raung, Mahiwal kemudian menuju Masjid Raya untuk salat Subuh.
 Saat khotbah bakda Subuh, di saf pria paling belakang, keempat bocah lelaki itu membanding-bandingkan tangan siapa yang melepuh dan kapalannya paling parah.
 Mahiwal tidak bisa tidur lagi sepulang dari masjid pagi itu. Dia segera berangkat ke Pasar Aceh yang terletak di belakang Masjid Raya.