Setelah membangunkan Dowes, mereka kemudian berunding mematangkan rencana tersebut, sampai akhirnya diusir marbot masjid dengan tongkat kayu yang menjadi gagang pel lantai, karena mengganggu ketentraman masjid. Mereka pulang diiringi nyanyian gembira burung walet penghuni Masjid Raya Baiturrahman yang baru pulang dari mencari takjil untuk iftar nanti.
***
"Kalau puasa begini, Ulee Lheue rasanya kok jauh kali, ya?" ucap Dowes. Napasnya ngos-ngosan. Keringat mengucur deras dari rambutnya yang kaku seperti sapu ijuk.
"Makanya, puasa tuh olah raga, jangan cuma tidur melulu," ejek Bulbul. Padahal keringatnya juga membanjir membasahi baju kaus merk Swan yang menjadi ciri khasnya.
Mereka berempat mengayuh sepeda masing-masing menempuh jarak lima kilometer Banda Aceh -- Ulee Lheue. Dowes dengan sepeda onthel,Peyi menggowes sepeda janda, Bulbul sepeda mini yang setangnya dimodifikasi mencuat ke atas seperti tanduk kerbau, dan Mahiwal dengan sepeda mini biasa. Maksudnya biasa, di depan ada keranjangnya.
Tujuan mereka adalah bawah jembatan muara tempat sungai bertemu laut.
Sesampai di lokasi, mereka berempat segera mencopot baju dan terjun ke dalam kali yang rada butek karena air pasang bulan mati. Tangan masing-masing meraba dasar sungai yang dangkal, mencari siput muara yang biasa dijadikan sumber asupan protein tambahan.
Peyi yang pertama nongol ke permukaan air. "Horeee! Aku dapat banyak!" seru Peyi kegirangan sambil mengacungkan segenggam keong patarana dengan panjang sekitar tiga sentimeter dan berujung runcing.
Dalam hitungan detik, Mahiwal menyusul dengan kedua tangan menggenggam keong sejenis. Dan berikutnya giliran Bulbul menyeruak dengan ... tangan kosong. "Lepas," katanya.
Ditunggu-tunggu, Dowes tak juga muncul. Sepuluh detik ... dua puluh detik ... dua puluh lima detik ..., bocah berambut ijuk itu tak juga menampakkan batang hidungnya.
Peyi panik. "Waduh, bagaimana kalau Dowes mati tenggelam?"