Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Kisah Para Ksatria Mawar - 19. Api Salju

18 April 2023   15:37 Diperbarui: 18 April 2023   15:40 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya....

Api Salju seharusnya menjadi cerita yang klise. Dengan wajahnya yang cerah cemerlang dan caranya penuh hasrat cinta dan onak duri.

Ksatria Mawarnya Ksatria Mawar, dia menjelajahi dunia dengan tawa dan karisma yang dapat memukau barisan patung batu. Dia tidak membutuhkan pedang untuk bertempur. Dia bisa tersenyum menembus dinding tembok dan pintu gerbang dan lubang berduri dan berbicara dengan monster di sarang mereka, menenangkan lautan yang mengamuk badai, dan merendahkan pria yang paling jumawa.

Lambang warna Api Salju adalah merah-putih, optimis dan cemerlang baik dalam sehat maupun rehatnya. Tanpa baju zirah, pedang, dan hiasan panji-panji, dia menjadi wanita cantik di jalan-jalan kota mana pun. Anggun dalam tampilannya, dia membawa kehancuran bahkan hanya dengan melirik.

"Aku khawatir," kata Ksatria Merah-Putih suatu malam sambil minum bir pletok dan sepiring domba panggang. Dia berbagi kata-kata dan makanannya dengan seorang Hulubalang, yang menjadi pedagang dan kadang-kadang jurumudi berpangkat menengah. Seorang teman seperjuangan dari perang melawan Tentara Bulan.

Suatu ketika mereka pernah bertempur bersama beberapa ribu rekan, di antara reruntuhan zaman kuno yang ditumbuhi sulur merambat  yang berjejer di lembah-lembah tinggi itu. Sihir kuno masih mengintai dalam bentuk kolam yang menatap dan hantu yang mengoceh.

Hulubalang telah pensiun, undur diri meninggalkan semua itu, tetapi mereka masih bertemu lagi dan lagi ketika dia melintasi Bandar Feniks, atau urusan dagangnya membawanya ke Gelegata Hulu.

Hulubalang menjilat lemak lengket dari jarinya. "Bagus," katanya sambil menyeringai, lalu menyesap bir pletok lagi.

Api Salju tertawa, tawa gembira yang membuat para pelancong berhenti di luar jendela penginapan. "Bagus? Kamu terlalu memikirkanku sehingga kamu ingin aku khawatir?"

"Tidak." Hulubalang mengiris domba panggang lagi, meliriknya dengan mata berbinar air terjun dari gunung. "Kalau kamu tidak pernah khawatir atau takut, kamu akan merana karena kurang perhatian."

"Dengan wawasan seperti itu,. Kamu seharusnya berada di pengadilan." Dia menusukkan jari telunjuk ke arah Hulubalang. "Khawatirkan aku ini, jurumudi. Apa yang terjadi ketika keinginan hatimu tercapai? Kamu jadi siapa?"

"Hah." Hulubalang menuangkan bir pletok lagi untuknya. "Apa yang terjadi jika makanan enak dimakan? Apakah kamu pernah lapar lagi?"

"Kau memutarbalikkan kata-kata," gerutu Api Salju. "Itu pekerjaanku."

Giliran Hulubalang tertawa. "Menurutmu mengapa aku bisa terus bersamamu? Kita berputarbalik bersama, tidak pernah saling menguasai. Jujur saja. Hanya sedikit yang bisa mengimbangimu."

Senyum di bibir Api Salju mencair. "Tidak."

"Jadi mengapa harus khawatir? Sudahkah kamu mencapai keinginan hatimu?"

"Mungkin." Dia berdiri, mondar-mandir ke jendela yang menghadap ke jalan, lalu kembali ke meja. "Hasrat telah membelah membuat hatiku terbagi."

"Pembagian hanyalah perkalian dengan nama lain."

Api Salju berbalik cepat seperti pedang yang sering dia bawa. Matanya berkilat. "Dan seorang pria hanyalah orang bodoh dengan nama lain."

Hulubalang terkekeh. "Jadi, apa yang terjadi dengan hatimu?"

Api Salju kembali berpindah ke jendela, wajahnya murung dan gelap seperti badai di musim kering. Terdengar seseorang berteriak pada bagal di jalanan di bawah. "Seorang pria pindah ke semak-semak ketika aku lengah sekejap."

"Jadi kamu sedang jatuh cinta. Ini sudah jamak terjadi dari waktu ke waktu, begitu kisah-kisah yang kutahu."

"Kamu tahu tentang sumpahku di pengadilan, pertunanganku di Gelegata Hulu. Aku tidak bebas untuk mencintai orang itu."

"Masalah yang pelik." Hulubalang meletakkan pisau dan cangkirnya untuk memperhatikan rambutnya yang tergerai, kakinya yang jenjang berotot, lengkung di punggungnya.

Dia tidak menanyakan nama kekasih misteri itu.

Di lain hari dan waktu mungkin Api Salju menyuarakan nama itu, dan Hulubalang mungkin membalasnya. Namun, mereka tidak pernah memperbincangkannya lebih lanjut, dan keduanya menderita dalam kesunyian yang terpisah jauh.

Jalan mereka bersilangan di pengadilan Pasukan Matahari.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun