"Kalau yang datang wartawan, jangan beri tahu mereka apa pun!' kata Yudhi dengan nada keras. "Tidak sepatah kata pun, Ran! Namaku tidak boleh disebut-sebut, mengerti?"
"Jangan khawatir, sayang. Saya pikir saya bisa menangani mereka."
Dia menyeberangi ruangan, menepuk lengan tunangannya saat dia lewat.
Yudhi menepuk pahanya dengan kesal. "Publisitas semacam ini akan mengacaukan bisnisku." Dia memelototiku seolah-olah aku yang bertanggung jawab atas situasi ini. "Aku seorang pialang saham, Han."
"Aku rasa kamu bisa mempercayai Nona Ranya untuk menangani wartawan dengan bijaksana," kataku sambil mengeluarkan kotak rokokku dan menawarkannya padanya. Dia menggelengkan kepalanya, menepuk dadanya sebagai penjelasan bahwa dia punya asma.
"Ranya menyebutkan bahwa dia memiliki bisnis seni dan barang antik," kataku sambil menyalakan rokok. "Kamu bilang dia punya mitra bisnis?"
"Ya, ya," jawabnya terbatuk-batuk. "Nikki dan tunanganku bermitra." Dia melihat sekeliling dengan tidak sabar, ingin pergi.
Dari pintu, Ranya berseru, "Yang datang Detektif Toto, Sayang."
Aku berbalik. Toto berdiri di ambang pintu. Matanya menjelajahi ruangan seolah-olah menginventarisasi semua yang ada di dalamnya. Ketika akhirnya padangannya bertemu dengan tatapanku, dia mengangguk. "Selamat pagi, Pak."
Membalikkan punggungnya pada Toto, Yudhi, "Aku sudah terlambat untuk rapat Dewan. Aku harus pergi, Ran." Dia mengayunkan payungnya ke arahku. "Apakah kamu mau ikut denganku?"
Toto melangkah maju. "Saya ingin berbicara dengan Tuan Handaka, jika Anda tidak keberatan."