Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Skandal Sang Naga (Bab 18)

17 April 2023   20:46 Diperbarui: 17 April 2023   20:51 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelumnya....

"Tuan Han, ini tunangan saya, Yudhi Salim," Ranya Vachel mengangguk padaku.

Yudhi mengulurkan tangannya, dan segera menariknya begitu jari kami bersentuhan seakan terkena kotoran.

"Ranya menyebut namamu berapa kali," katanya dingin. Dia menoleh ke Ranya. "Aku ingin berbicara denganmu, Ran. Sendirian, jika kamu tidak keberatan."

"Tidak apa-apa, Sayang," katanya dengan nada menenangkan. "Tuan Han tahu apa yang terjadi. Itu sebabnya dia ada di sini."

"Aku pikir mungkin ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk membantu," kataku cepat. "Yang terjadi sungguh buruk."

"Sungguh buruk? Ya Tuhan, pernyataanmu sangat meremehkan!" Dengan susah payah Yudhi memulihkan napasnya setelah ledakan emosi ini. "Siapa Archer? Aku minta penjelasan yang jujur, Ran! Kamu tidak pernah menyebutkan namanya kepadaku."

"Dia tidak begitu penting," jawab Ranya dengan pandangan putus asa pura-pura padaku. "Hanya kenalan biasa yang kami temui di Shanghai."

Yudhi menudingkan telunjuknya ke arahku dengan nada menuduh. "Kamu pernah bertemu Archer ini?"

"Hanya sekali, saat aku bersama Ranya. Kami bertemu dengannya dan minum-minum bersama."

'Minum? Kalian?" Napasnya kembali terengah-engah. Matanya melirik ke aku dan Ranya dengan curiga. "Bagaimana Archer bisa ada di sini? Aku tidak bodoh, Ran. Pasti ada lebih banyak yang kamu sembunyikan daripada yang kamu sudah kamu ceritakan!"

 Aku bertanya-tanya bagaimana mungkin Ranya Vachel bertunangan dengan lelaki sakit jiwa ini.

Dengan nada sarkastik, aku berkata: "Kamu sungguh luar biasa, Tuan."

Dia memelototiku. "Aku tidak sedang berbicara denganmu, Pak."

Ranya menghela napas. "Sudahlah, Yud. Hentikan."

"Kendalikan dirimu, Yud," kataku kasar. "Nona Ranya mengalami peristiwa yang sangat tidak menyenangkan. Saat ini dia membutuhkan simpati, bukan intimidasi."

Bibir lelaki kurus itu mengatup marah untuk sesaat, lalu dia tersenyum muram. "Kamu benar. Aku minta maaf, Han."

Dia menoleh ke Ranya. "Maafkan aku, sayang. Aku pikir kita harus menunda diskusi ini sampai aku bisa lebih tenang. Malam ini, kalau begitu."

Dia melirik arlojinya. "Aku akan menghadiri rapat Dewan setengah jam lagi. Ngomong-ngomong, Ran, lakukan sesuatu untuk menenangkan rekanmu itu. Dia meneleponku tiga kali karena dia dia tidak bisa menghubungimu."

"Tentu saja, sayang," kata Ranya menenangkan. "Saya rasa Nikki kesal karena saya memutuskan telepon tadi malam." Dia bergidik. "Waktu itu saya melihat---"

Mata Yudhi mengikuti arah pandangannya. Ranya akan mengatakan sesuatu ketika bel pintu berbunyi. Dia menghela napas. "Mengapa mereka tidak bisa meninggalkan saya dengan tenang?"

"Kalau yang datang wartawan, jangan beri tahu mereka apa pun!' kata Yudhi dengan nada keras. "Tidak sepatah kata pun, Ran! Namaku tidak boleh disebut-sebut, mengerti?"

"Jangan khawatir, sayang. Saya pikir saya bisa menangani mereka."

Dia menyeberangi ruangan, menepuk lengan tunangannya saat dia lewat.

Yudhi menepuk pahanya dengan kesal. "Publisitas semacam ini akan mengacaukan bisnisku." Dia memelototiku seolah-olah aku yang bertanggung jawab atas situasi ini. "Aku seorang pialang saham, Han."

"Aku rasa kamu bisa mempercayai Nona Ranya untuk menangani wartawan dengan bijaksana," kataku sambil mengeluarkan kotak rokokku dan menawarkannya padanya. Dia menggelengkan kepalanya, menepuk dadanya sebagai penjelasan bahwa dia punya asma.

"Ranya menyebutkan bahwa dia memiliki bisnis seni dan barang antik," kataku sambil menyalakan rokok. "Kamu bilang dia punya mitra bisnis?"

"Ya, ya," jawabnya terbatuk-batuk. "Nikki dan tunanganku bermitra." Dia melihat sekeliling dengan tidak sabar, ingin pergi.

Dari pintu, Ranya berseru, "Yang datang Detektif Toto, Sayang."

Aku berbalik. Toto berdiri di ambang pintu. Matanya menjelajahi ruangan seolah-olah menginventarisasi semua yang ada di dalamnya. Ketika akhirnya padangannya bertemu dengan tatapanku, dia mengangguk. "Selamat pagi, Pak."

Membalikkan punggungnya pada Toto, Yudhi, "Aku sudah terlambat untuk rapat Dewan. Aku harus pergi, Ran." Dia mengayunkan payungnya ke arahku. "Apakah kamu mau ikut denganku?"

Toto melangkah maju. "Saya ingin berbicara dengan Tuan Handaka, jika Anda tidak keberatan."

Yudhi menatapku lama, merenung, lalu mengangguk singkat dan berjalan melewati Toto menuju pintu.

"Permisi, Detektif," kata Ranya dan mengikuti Yudhi keluar dari ruang duduk.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun