Nuri Mersik tidak ingin mendengarkan. Baginya, bukan soal siapa yang benar atau siapa yang salah, itu soal hatinya sendiri. Waktunya telah tiba apa yang dia takuti sejak lama: dia dipaksa untuk memilih.
Dia melirik ksatria kuning. "Kamu pasti salah mengira orang."
Ksatria itu berkedip dan menggelengkan kepalanya, mengamati wajahnya lebih dekat. "Tetapi-"
"Wanita yang tinggal di sini sudah mati, tewas dalam wabah yang melanda desa ini pada musim dingin yang lalu. Sekarang tinggalkan kami. Kami tidak menginginkan perangmu di sini di Tapal Batas."
Saat menyebut wabah, kedua ksatria itu saling memandang, ekspresi mereka sangat berbeda. Ksatria oranye naik kembali ke atas kudanya dan mereka mengucapkan selamat siang, berangkat satu ke utara dan yang lain selatan, untuk bertempur tanpa Nuri Mersik.
Segera setelah itu, bunga mawar di taman kecil itu tumbuh liar, menutupi pondok dan pagar yang memisahkan Nuri Mersik dari pilihan yang tidak bisa dia ambil.
Kisah-kisah bertiup ke Tapal Batas tentang seorang ksatria aneka warna yang tidak melayani pasukan lebih dari satu pertempuran, dan itu hanya dalam pertempuran kecil- pertempuran kecil dan pertahanan, menjauh dari perang yang berlangsung selama berminggu-minggu dan bertahun-tahun.
Maka terjadilah perang, dan Nuri Mersik tidak ikut serta. Jika ada lebih banyak ksatria seperti itu, dengan loyalitas terbagi, perang mungkin tidak pernah terjadi.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H