Nuri Mersik lahir di Tapal Batas, antara tanah berbukit di selatan yang tenang dan dataran oranye di utara. Suku asli dua tumpah darah, dan ketika dia memilih untuk menjadi Ksatria Mawar, kesetiaannya adalah pada dataran serta padang pasir, ke tanah Asgaristan yang subur serta keindahan Gurun Mengaum yang keras namun lebih hangat.
Dia tidak hanya memakai satu warna. Beberapa mengatakan kesetiaannya terbagi, tapi sebenarnya Nuri Mersik setia pada keduanya, oranye dan kuning. Bertarung dengan hati teguh untuk kedua pasukan, memberikan kekuatan lengan mengayun pedangnya saat ksatria oranye berperang dan ketangguhan perisainya saat ksatria kuning diperlukan untuk mempertahankan Jembatan Pasir dari penyusup.
Seperti halnya semua Ksatria Mawar yang kisahnya diceritakan di sini, Nuri Mersik adalah mewakili dirinya sendiri, bebas untuk pergi ke mana pun dia mau dan bertarung dengan siapa yang dia pilih, hidup dari pampasan perang dan bayaran dari pertempuran yang dia perjuangkan. Meskipun demikian, sebagian besar Ksatria Mawar bertarung hanya untuk satu pasukan.
Nuri Mersik mengambil jalan yang berbeda.
Dia memiliki sebuah rumah kecil di sebuah desa di Tapal Batas, dan ketika dia berada di sana, bebas dari pertempuran dan baju zirah dan pelindung dada dengan kobaran api kuning dan jingga yang mencolok, dia merawat sebuah taman yang meriah, penuh dengan bunga-bunga tempat para Ksatria Mawar mengambil nama mereka. Atau mungkin mawarnya diberi nama mengikuti para Ksatria. Tidak ada yang tahu pasti. Bisa juga itu campur aduk dari keduanya, seperti yang sering terjadi.
Mereka yang mengenal Nuri Mersik dari medan perang tidak mengenalnya di sini, tenang dan damai di antara keharuman dari begitu banyak bunga yang berbeda. Tangannya lebih kotor dengan pupuk kandang daripada darah.
Nuri Mersik menginginkannya seperti itu. Dia telah memilih kehidupan seorang ksatria, dia percaya dalam mempertahankan tanah yang dia cintai, tetapi dia tidak bisa selalu mengenakan baju besi dan berperang.
Suatu hari, dia sedang memangkas mawar berwarna krem dengan perona oranye di tepinya. Dia lemah menghadapi mawar warna-warni. Nuri Mersik berjongkok pada tumitnya untuk mengagumi kuncup yang baru saja mulai mekar dengan sangat sempurna, ketika dia mendengar suara yang tidak pernah ingin dia dengar di desanya yang damai, tempat perlindungannya.
Bunyi ladam yang berat dipaku pada kuku kuda disertai dengan gemerincing rantai yang mengetuk logam - suara seorang ksatria - mendekat.
Dia bangkit dan membersihkan tangannya dengan baju luar yang dipakainya untuk berkebun. Ksatria dengan pelindung berwarna oranye dari dataran di utara, berhenti di gerbang rumahnya yang sederhana dan turun, melepas pelindung kepala dan menjepitnya di bawah ketiak.
Nuri Mersik mengenalinya dari pertempuran yang mereka lakukan secara berdampingan berturut-turut, tetapi tampaknya ksatria itu tidak mengenalinya.
"Apakah ini kediaman Ksatria Mawar yang dikenal dengan nama Nuri Mersik?" tanyanya.
Dia menatap wajah rekan seperjuangannya yang penuh bekas luka dengan jidat berkerut. "Apa yang kamu inginkan dengannya?"
Sebelum ksatria oranye bersempatan untuk menjawab, suara kuda seorang ksatria yang berderap mendekat dari selatan terdengar.
Kuning.
Yang mengejutkannya, ksatria oranye menghunus pedangnya. Oranye dan kuning tidak pernah berselisih sebelumnya.
"Simpan senjatamu!" dia berseru. "Ada apa ini?"
Ksatria kuning berhenti di depan pondoknya yang sederhana di tengah kepulan debu dan melepas pelindung kepala tanpa turun dari kuda. "Nyonya, pasukan Gurun Mengaum membutuhkan bantuanmu melawan ancaman baru dari utara."
Dia melihat kesatria oranye itu melirik dengan cepat ke arahnya dengan terkejut sebelum dia kembali memelototi kesatria kuning itu.
"Ancaman dari utara?" kata ksatria oranye. "Gurun Mengaum-lah yang bersekutu dengan Negeri Kemarau Abadi melawan tetangga utara mereka!"
Nuri Mersik tidak ingin mendengarkan. Baginya, bukan soal siapa yang benar atau siapa yang salah, itu soal hatinya sendiri. Waktunya telah tiba apa yang dia takuti sejak lama: dia dipaksa untuk memilih.
Dia melirik ksatria kuning. "Kamu pasti salah mengira orang."
Ksatria itu berkedip dan menggelengkan kepalanya, mengamati wajahnya lebih dekat. "Tetapi-"
"Wanita yang tinggal di sini sudah mati, tewas dalam wabah yang melanda desa ini pada musim dingin yang lalu. Sekarang tinggalkan kami. Kami tidak menginginkan perangmu di sini di Tapal Batas."
Saat menyebut wabah, kedua ksatria itu saling memandang, ekspresi mereka sangat berbeda. Ksatria oranye naik kembali ke atas kudanya dan mereka mengucapkan selamat siang, berangkat satu ke utara dan yang lain selatan, untuk bertempur tanpa Nuri Mersik.
Segera setelah itu, bunga mawar di taman kecil itu tumbuh liar, menutupi pondok dan pagar yang memisahkan Nuri Mersik dari pilihan yang tidak bisa dia ambil.
Kisah-kisah bertiup ke Tapal Batas tentang seorang ksatria aneka warna yang tidak melayani pasukan lebih dari satu pertempuran, dan itu hanya dalam pertempuran kecil- pertempuran kecil dan pertahanan, menjauh dari perang yang berlangsung selama berminggu-minggu dan bertahun-tahun.
Maka terjadilah perang, dan Nuri Mersik tidak ikut serta. Jika ada lebih banyak ksatria seperti itu, dengan loyalitas terbagi, perang mungkin tidak pernah terjadi.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H