Dia bangkit dan membersihkan tangannya dengan baju luar yang dipakainya untuk berkebun. Ksatria dengan pelindung berwarna oranye dari dataran di utara, berhenti di gerbang rumahnya yang sederhana dan turun, melepas pelindung kepala dan menjepitnya di bawah ketiak.
Nuri Mersik mengenalinya dari pertempuran yang mereka lakukan secara berdampingan berturut-turut, tetapi tampaknya ksatria itu tidak mengenalinya.
"Apakah ini kediaman Ksatria Mawar yang dikenal dengan nama Nuri Mersik?" tanyanya.
Dia menatap wajah rekan seperjuangannya yang penuh bekas luka dengan jidat berkerut. "Apa yang kamu inginkan dengannya?"
Sebelum ksatria oranye bersempatan untuk menjawab, suara kuda seorang ksatria yang berderap mendekat dari selatan terdengar.
Kuning.
Yang mengejutkannya, ksatria oranye menghunus pedangnya. Oranye dan kuning tidak pernah berselisih sebelumnya.
"Simpan senjatamu!" dia berseru. "Ada apa ini?"
Ksatria kuning berhenti di depan pondoknya yang sederhana di tengah kepulan debu dan melepas pelindung kepala tanpa turun dari kuda. "Nyonya, pasukan Gurun Mengaum membutuhkan bantuanmu melawan ancaman baru dari utara."
Dia melihat kesatria oranye itu melirik dengan cepat ke arahnya dengan terkejut sebelum dia kembali memelototi kesatria kuning itu.
"Ancaman dari utara?" kata ksatria oranye. "Gurun Mengaum-lah yang bersekutu dengan Negeri Kemarau Abadi melawan tetangga utara mereka!"