"Ya", Kei mengangguk. "Tidak tahu berapa lama. Selama dia perlu, kurasa. Baik aku atau dia tidak punya keluarga lain, kau tahu. Kita harus menjaga mengurus anggota keluarga kita."
"Harus", Gilar setuju. "Seperti Euis-ku. Terus kembali, seperti uang receh."
Dia tertawa dan kemudian menambahkan, "Betul, kan? Uang receh seratus yang beredar tapi tak laku?"
"Pikirkan itu sebagai uang receh yang jelek," Kei memberitahunya, dan Gilar mengangguk dan berkata, ""Logam seratus rupiah buruk. Seharusnya waktu lahir namanya Gopek. Baru pas."
"Dia belum pergi?" Kei bertanya.
"Tidak. Katanya lakinya pasti akan memukulinya lagi, dan menunjukkan memar di wajahnya. Bilang, 'Abah, aku bisa tinggal, kan?' pasang tampang yang selalu dia buat waktu umurnya masih enam tahun dan meminta dibelikan es krim lagi. Aku bilang tentu saja sayang, meskipun sekarang umurnya lebih dari empat puluh."
"Anak akan selalu menjadi anak kecil," kata Kei.
"Gogon itu liar," Gilar mengingatkannya. "Ingat waktu dia muncul dengan Honda Civic bersama geng preman dulu?"
"Bukan geng," kata Kei. "Hanya klub anak-anak muda yang menyukai mobil."
"Lebih mirip geng," bantah Gilar. "Beberapa dari mereka muncul di berita karena merampok nasabah bank. Dua dari mereka adalah lelaki dewasa mantan narapidana."
"Gogon bilang dia bahkan tidak mengenal mereka."