Gilar masih muda, menurut hitungan Kei, baru berusia pertengahan enam puluhan atau sekitar itu. Dia suka memanggilnya 'Nak', seperti yang dia lakukan sekarang.
"Bukannya hantu, Nak", katanya.
Kei bermaksud untuk mengatakan setengah kebenaran dan melihat apakah itu berhasil. "Ini tentang keponakanku, Gogon. Muncul pagi-pagi sekali. Dari tampangnya, dia habis berkelahi."
"Anak abangmu Tobon?" tanya Gilar  yang tahu betul keluarga Kei. Mereka tidak memiliki rahasia satu sama lain setelah sekian lama, dan mengenal keluarga satu sama lain dengan baik atau lebih baik daripada keluarga mereka sendiri.
"Bocah itu selalu menyukai sesuatu," Gilar melanjutkan, bangkit dari kursinya dan meletakkan koran pagi di tempat dia duduk. Dia mondar-mandir sedikit di pintu depan, mengintip ke luar untuk melihat apakah ada pelanggan yang mungkin muncul. Dia tahu tidak akan ada, setidaknya tidak selama setengah jam. Dan kemudian hanya Dadang, yang akan datang untuk bercukur khusus sembilan ribu rupiah, seperti yang dia lakukan setiap hari Selasa, apakah rambutnya perlu dipangkas atau tidak.
"Dia anak yang baik." balas Kei, mengambil sapu dan menyapu debu yang tak ada di lantai secara acak. Tempat itu bersih.
Mereka berbicara perlahan, bergantian melakukan rutinitas mereka yang tidak jelas dan tidak perlu. Itu adalah hidup, nyaris. Jika bukan karena jaminan sosial dan cicilan rumah sederhana itu sejak lama, Kei bahkan tidak mau memikirkan itu. Namun, sekarang setelah dia melakukannya, dia jadi bertanya-tanya berapa lama Gogon akan tinggal, dan berapa biayanya.
"Setidaknya anak itu tidak makan atau minum," katanya pada dirinya sendiri. "Jadi biayanya akan murah. Yang benar-benar dia butuhkan, sejauh yang kutahu, adalah beberapa pakaian. Tidak bisa terus memakai pakaian berlumuran darah itu. Celana, sepatu, jaket, kemeja. Pakaian dalam, kaus kaki. Semua harus dibeli," dan dia menghitung di kepalanya berapa biaya semua itu dan kapan dia akan menyiasatinya.
Sayang sekali Gogon lebih tinggi lima belas sentimeter  dan mungkin dua puluh lima kilogram lebih berat darinya, jadi Gogon tidak bisa memakai barang-barangnya.
"Jadi, apakah anak itu berkeliaran sampai ke sini?" tanya Gilar. "Dia di tempatmu?"
"Ya", Kei mengangguk. "Tidak tahu berapa lama. Selama dia perlu, kurasa. Baik aku atau dia tidak punya keluarga lain, kau tahu. Kita harus menjaga mengurus anggota keluarga kita."
"Harus", Gilar setuju. "Seperti Euis-ku. Terus kembali, seperti uang receh."
Dia tertawa dan kemudian menambahkan, "Betul, kan? Uang receh seratus yang beredar tapi tak laku?"
"Pikirkan itu sebagai uang receh yang jelek," Kei memberitahunya, dan Gilar mengangguk dan berkata, ""Logam seratus rupiah buruk. Seharusnya waktu lahir namanya Gopek. Baru pas."
"Dia belum pergi?" Kei bertanya.
"Tidak. Katanya lakinya pasti akan memukulinya lagi, dan menunjukkan memar di wajahnya. Bilang, 'Abah, aku bisa tinggal, kan?' pasang tampang yang selalu dia buat waktu umurnya masih enam tahun dan meminta dibelikan es krim lagi. Aku bilang tentu saja sayang, meskipun sekarang umurnya lebih dari empat puluh."
"Anak akan selalu menjadi anak kecil," kata Kei.
"Gogon itu liar," Gilar mengingatkannya. "Ingat waktu dia muncul dengan Honda Civic bersama geng preman dulu?"
"Bukan geng," kata Kei. "Hanya klub anak-anak muda yang menyukai mobil."
"Lebih mirip geng," bantah Gilar. "Beberapa dari mereka muncul di berita karena merampok nasabah bank. Dua dari mereka adalah lelaki dewasa mantan narapidana."
"Gogon bilang dia bahkan tidak mengenal mereka."
"Gogon mengatakan macam-macam," jawab Gilar dengan kesal. "Bagaimana kalau saat itu dia membutuhkan tiga ratus ribu dan sejumlah itu pula yang hilang dari laci kasir."
"Tentu", Ray. "Bagaimana aku bisa lupa kalau kamu mengingatkanku setiap saat. Tentu saja dia berbohong tentang itu. Tidak ingin membicarakannya. Pacar hamil. Aborsi. Hal semacam itu terjadi pada orang-orang."
"Kalau memang begitu", jawab Gilar. "Aku tidak pernah bisa untuk mempercayainya lagi. Dulu saja tidak."
Pada detik itu, Dadang yang bagai jam berjalan melewati pintu dan bahkan sebelum dia duduk, dia melepaskan fedora usangnya, jaket kulit tua berwarna cokelat, mengamati wajah Gilar dengan serius dan berkata, "Selalu ingat kalau tidak bisa mempercayai seseorang. Bohong untuk kedua kalinya lebih gampang, jadi sebaiknya jangan pernah menerimanya."
Kemudian, setelah tertawa jauh melampaui humor dari pernyataan itu, dia terbatuk dan tergagap dan duduk di kursi tukang cukur dekat pintu.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H