Kakakmu mengangkat mug kopi. "Semoga sehat selalu, Dik."
Kamu mendiskusikan obat-obatan dan upaya yang diperlukan untuk tampil normal di depan umum.
Dia berkata, "Aku baru saja sampai pada titik pengaturan pribadi yang sangat mudah ditampilkan."
Kamu setuju. "Sepertinya kesadaranku yang lebih tinggi sedang istirahat di dasar tengkorakku saat tubuhku berjalan dengan autopilot. Aku lebih suka menjadi seorang pertapa."
Dia mendengus. "Itu pilihan yang berbahaya."
"Ya, harusnya menjadi impianku yang belum terwujud, karena beban utang akan membuat aku terus berinteraksi dengan orang-orang selama bertahun-tahun."
Di malam hari, kamu punya rutinitas.
Sebelum tidur, membuka kertas pembungkus silet, atau rautan pensil baru. Kemudian menarik garis ke kulit, menarik napas dalam-dalam, dan memperhatikan manik-manik warna.
Kamu memegang kendali dan aman di kamar tidurmu.
Tapi suatu malam, rutinitas berubah. Setelah satu tahun atau lebih tenggelam dalam kecemasan, kamu akan menyadari bahwa garis-garis pada kulit adalah pengganti yang buruk untuk ekspresi diri yang kreatif. Parut luka tidak cukup untuk menghilangkan kesedihan batin. Jadi, alih-alih membumi dengan pisau, kamu mengambil pena dan menggiling masa kini dengan bahasa yang dirangkai dengan hati-hati.
Bandung, 22 Februari 2023