Inilah aku yang sebenarnya. Aku adalah saudara dari kursi berlengan dan alas tiang lampu pencahayaan yang pintar. Aku tidak bisa dibedakan dari panorama sekitar.
Malam ini, aku menjadi kertas dinding, merah marun dengan pola obat nyamuk melingkar hitam. Gelap tetapi ada satu lampu pijar di sebelah kananku. Aku adalah sudut paling belakang dari kedai mewah di tepi barat kota, yang masih menyajikan bourbon di rak atas dalam gelas kristal.
Dia duduk di bar di bangku berkaki kuningan. Kakinya menjuntai di bawahnya, seolah anak kecil di ayunan. Mengenakan mantel wol warna abu rokok dan minum koktail sambil mengutak-atik payung kertas. Garis-garis pada syalnya terpuntir-puntir, biru dan hijau saling berfkelindan seperti arus air di atas bebatuan. Jenis rajutan tangan, hadiah dari orang tersayang, mungkin.
Jika dia melirik ke arahku, hanya untuk mengagumi dekorasi--lukisan pemandangan cat minyak dalam bingkai barok, perabotan kulit antik. Jika dia berjalan melewatiku, jika syalnya menyentuh ujung jariku, itu hanya karena aku berdiri di antara dia dan toilet berlantai marmer.
Dia harum seperti buah ceri. Aku berbau seperti lem kertas dinding dan asap tembakau.
***
Jumat larut malam, ketika sekumpulan orang dengan busana yang disesuaikan turun ke bar, dia duduk di sofa di sampingku. Bahu kami saling bersentuhan santai, seperti sepasang telur burung hangat di dalam sarang.
Itu kalau aku memiliki bahu. Padahal tidak. Aku jok kulit tua, cokelat kenari, dipoles sampai berkilau.
Aku adalah ornamen kuningan dan aroma gin tumpah. Aku adalah ara jejawi yang dipelihara dengan baik di meja ujung berkaki cakar. Bukan yang lain.
"Siapa namamu?" dia bertanya.
Dia menatapku, menatap mataku, menatap ke balik kulitku, ke bawah dedaunanku.
Aku tidak punya pilihan selain menjawab. Aku menahan napas. Aku tidak punya nafas.
Aku tidak bisa memberitahunya. aku adalah pemandangan. Aku tidak punya nama, tidak ada yang penting, tidak ada yang tidak biasa, tidak sepenuhnya bisa dilupakan.
Aku tidak punya kampung halaman, karier, hewan peliharaan, atau apartemen tiga blok ke utara dari sini. AKu tidak memiliki hobi, cerita untuk diceritakan--tidak ada yang tidak akan membuat matanya berkaca-kaca yang tidak akan mengirimnya ke bar untuk minum lagi, atau keluar ke tepi jalan untuk naik taksi pulang.
Aku mengubur diri sendiri, memohon kulitku untuk memelukku lebih erat, tetapi ditolak. Aku membuka mulutku. Napasku berbau martini tua dan lilin furnitur.
Seorang pria berdasi perak menjawabnya, dan tiba-tiba aku menyadari bahwa dia tidak berbicara denganku. Dia tidak pernah melakukannya. Lagipula aku adalah benda mati.
"Tristan," katanya padanya. "Nama Prancis."
Dia tertawa keras. "Seksi sekali!" serunya.
Sekaligus, intonasi suara terlalu banyak. Aku berdiri untuk pergi. Sofa melepaskanku, melewatiku dengan lembut ke pelukan kertas dinding yang dipuntir.
Aku adalah lantai paraket, lampu tembaga yang menggantung. Aku adalah kaca patri, aku adalah cermin yang menodai batang kayu ceri.
Aku suasana. Aku sedang menyutradarai. Aku bukan tokoh dalam ceritanya.
***
Terapisku pernah meminjamkanku sebuah buku: Petunjuk Bagi Penderita Fobia Sosial untuk Menemukan Cinta. Isinya kebohongan-kebohongan kecil seperti, "Tidak ada yang bisa menolak Anda yang sebenarnya."
Aku yang sebenarnya. Aku bukan tristan. Aku tidak mengganggu, tidak menarik.
Sepotong desain interior.
Adakah yang bisa menemukan kertas dinding yang begitu mempesona? Apakah ada yang benar-benar jatuh cinta pada tirai, atau merasakan dorongan nafsu saat melihat meja makan yang dibuat dengan baik?
Tidak ada yang menulis buku seperti 'Petunjuk bagi Pengidap Fobia Araknoida untuk Beternak Laba-Laba' atau 'Petunjuk Bagaimana Jatuh dari Pencakar Langit bagi Mereka yang Takut Ketinggian'.
Aku mengerti sekarang.
Orang-orang mengandalkan kasih sayang, kata-kata bijak, untuk melawan ketakutan mereka. Mereka adalah manusia. Mereka punya orang lain untuk mencintai mereka, untuk memeluk mereka ketika mereka berantakan.
Aku hanya punya furnitur.
***
Malam ini, aku adalah batu bata yang hancur. Aku permen karet bekas di atas beton. Aku adalah neon box logo bir yang terpantul dari genangan urin bau.
Tanganku melambai seperti bendera yang sobek, tapi taksi melewatiku.
Pintu bar terbuka di belakangku.
Jumat malam pergi berkelompok dan berpasangan. Aku mendengar tawa, lelucon tentang tempat yang belum pernah kukunjungi, buku yang belum pernah kubaca. Lagu nada sumbang dari film yang belum pernah kutonton. Percakapan manusia, kasih sayang.
Aku mencium harum buah ceri.
Dia bersandar pada batu bataku yang rusak, menendang daun gugur basah dari betonku.
"Aku menanyakan namamu," katanya. "Aku masih ingin tahu." Senyumnya lebar dan lebih lembut dari ujung syalnya yang compang-camping. Uap pada napasnya melewati bibirku. Bahunya menekan dekat dengan bahuku.
Namaku kertas dinding merah marun atau ubin marmer atau sofa kulit antik.
Dia menunggu. Batu bata mendorongku menjauh, bahkan saat aku berpegangan padanya. Beton menolak untuk melindungiku.
Aku berhasil mendapatkan napasku kembali. Sama hangat dengan miliknya.
Ketika aku menyebutkan namaku, suaraku terdengar hampir seperti manusia.
Bandung, 9 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H