Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Terdampar di Perut Bumi - Buku Satu: I Terdampar (Part 33)

6 Februari 2023   23:37 Diperbarui: 6 Februari 2023   23:56 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Sebelumnya....

Tiwi bergerak ke sekitarnya. "Yuk kumpulin serbuk, ranting, kayu. Kita akan membuat api yang besar,  menyala-nyala---sebesar-besarnya sampai satelit cuaca akan melihatnya."

"Ide yang hebat. Mari kita mulai. " Zaki memungut beberapa batang kayu berukuran lebih kecil.

Miko berkedip. "Serbuk?"

"Kamu tahu ... rumput kering, daun kering, kulit kayu---apapun untuk menyalakan api. Kamu menonton Survivor, kan? "

"Ya, tapi kita kan nggak butuh api sampai ntar malam?"

"Api akan menakuti laba-laba atau pemangsa---belum lagi asap dapat terlihat puluhan kilometer di siang hari." Tiwi berhenti sejenak untuk mengambil setumpuk dahan kering yang bengkok dan kemudian melanjutkan. "Matahari---atau yang membuat matahari---akan terbenam, lalu apa? Tidak ada yang lebih menyebalkan daripada membuat api dalam kegelapan, terutama karena kita nggak korek api atau geretan. Jadi mari kita mulai, karena aku bersumpah aku tidak akan bermalam di sini."

Zaki maju beberapa langkah dan menunjuk ke arah pantai. "Sinyal marabahaya internasional adalah tiga kebakaran dalam segitiga yang terpisah sepuluh hingga 15 meter. Tidak masalah di negara mana kita berada. Setiap petugas penyelamat mengetahuinya. Begitu ada tanda-tanda pesawat atau helikopter, kita akan menutup mereka dengan daun kelapa supaya asapnya akan membumbung tinggi. "

"Wow," kata Miko. "Lu ternyata beneran jenius, Einstein Muda."

Zaki tersenyum, mata birunya berbinar. Karena sifat miko yang santai, dia tidak pernah menganggap serius sahabatnya. Zaki bangga menjadi atlet sekaligus pintar.

Tiwi meraih cabang kayu yang lain. Bahunya sakit, dan dia nyaris tak bisa melihat tumpukan tinggi di tangannya saat pikirannya melayang kembali ke rumah. Dia sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa akan terdampar dan terpisah dari orang tuanya. Dia yakin orang tuanya khawatir setengah mati.

Bagaimana liburan yang harusnya menyenangkan menjadi seperti ini?

"Hei, lu butuh dibantuin, nggak?" Otot bisep Zaki menonjol saat dia menarik batang kayu berat yang tertanam di lantai hutan.

"Nggak. Aku biasa angkat beban berat, kok." Tiwi mencoba menyembunyikan getaran dalam suaranya, tetapi tak berhasil. Dia tidak ingin dicap sebagai gadis yang cengeng dan tak berdaya.

Zaki melepaskan batang kayu dan memanggil Miko. "Bro, ingat, ya  kita butuh api buat masak makanan. Kalau lu nggak bantuin, Tiwi dan gue makan ikan panggang panas-panas, lu---" Dia berhenti untuk efek dramatis dan kemudian melanjutkan, "Gue rasa lu pasti suka sushi."

"Ewww, jijay!" Tiwi tersenyum lemah, berterima kasih atas pengalihannya. Zaki selalu tahu bagaimana mengalihkan pikirannya yang galau. Dia menoleh dan melihat Miko tersenyum lebar.

"Ikan mentah dingin?" dia bertanya. "Siapa takut? Lu tahu gue nggak pernah takut untuk nyobain segala sesuatuny paling nggak sekali seumur hidup." Dia kemudian berjalan menuju pantai dan membawa batang kayu.

"Tunggu aku datang! Tanganku hampir copot." Tiwi merunduk di bawah jalinan tanaman merambat dan berjalan keluar dari hutan.

"Hei, sepertinya kita jauh dari pantai," kata Miko.

Tiwi mengangguk. "Ya, itu menjelaskan mengapa kita tidak mendengar suara sungai waktu pertama kali sampai di sini. Ditambah bunyi ombak, kicau burung, dan serangga yang berisik."

Saat Miko terhuyung-huyung ke depan, langkah kakinya memancarkan cahaya. "Wow! Mik, lihat pasirnya."

Miko tersenyum. "Bukankah kita udah bahas ini?"

"Saatnya membahasnya lagi. Langkah kakimu menyala. Saksikan berikut ini."

"Wah! Pasti dari matahari yang menyinari kristal mika itu."

Tiwi menyipitkan mata dan meletakkan bebannya. "Ya, tapi bagaimana bisa mengeluarkan cahaya seperti itu?"

"Lu bener. Pasti ada sesuatu," kata Miko sambil menendang pasir dengan sepatunya.

Zaki muncul  dengan membawa balok kayu yang panjang dan berat. Tiwi melirik tubuhnya yang kuat dan bahunya yang lebar. Mendorong bahunya ke belakang, Zaki menyesuaikan bebannya. "Seperti yang gue bilang tadi, ini pasir tua polos yang dicampur dengan berton-ton mika."

"Mika tua yang bagus, ya?" Miko menabur segenggam benda putih berkilau itu.

"Hei!" Tiwi melindungi kepalanya saat pasir menghujaninya. Meskipun dia sangat Miko, cowok itu terkadang bisa sangat kekanak-kanakan. Kilatan berkilau di udara membutakan matanya. "Kalian lihat cahayanya yang menyilaukan?"

Miko mengguncang bahu Zaki. "Gila, ya?"

Zaki ragu-ragu. "Itu... Wah! Lagi-lagi."

Tiwi membersihkan pakaiannya. Dia mengambil dua kepal pasir dan melemparkannya ke laut.

"Lihat!" kata Miko. "Apakah kita masih mengikuti teori mika tua?"

Rentetan partikel berkilauan terbang di udara, mengingatkan Tiwi pada kilatan putih terang pertunjukan kembang api. "Tidak mungkin pasir tua yang polos itu. Ini pasir dunia gaib dari jenis yang aneh, "katanya.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun