Tiwi bergerak ke sekitarnya. "Yuk kumpulin serbuk, ranting, kayu. Kita akan membuat api yang besar, Â menyala-nyala---sebesar-besarnya sampai satelit cuaca akan melihatnya."
"Ide yang hebat. Mari kita mulai. " Zaki memungut beberapa batang kayu berukuran lebih kecil.
Miko berkedip. "Serbuk?"
"Kamu tahu ... rumput kering, daun kering, kulit kayu---apapun untuk menyalakan api. Kamu menonton Survivor, kan? "
"Ya, tapi kita kan nggak butuh api sampai ntar malam?"
"Api akan menakuti laba-laba atau pemangsa---belum lagi asap dapat terlihat puluhan kilometer di siang hari." Tiwi berhenti sejenak untuk mengambil setumpuk dahan kering yang bengkok dan kemudian melanjutkan. "Matahari---atau yang membuat matahari---akan terbenam, lalu apa? Tidak ada yang lebih menyebalkan daripada membuat api dalam kegelapan, terutama karena kita nggak korek api atau geretan. Jadi mari kita mulai, karena aku bersumpah aku tidak akan bermalam di sini."
Zaki maju beberapa langkah dan menunjuk ke arah pantai. "Sinyal marabahaya internasional adalah tiga kebakaran dalam segitiga yang terpisah sepuluh hingga 15 meter. Tidak masalah di negara mana kita berada. Setiap petugas penyelamat mengetahuinya. Begitu ada tanda-tanda pesawat atau helikopter, kita akan menutup mereka dengan daun kelapa supaya asapnya akan membumbung tinggi. "
"Wow," kata Miko. "Lu ternyata beneran jenius, Einstein Muda."
Zaki tersenyum, mata birunya berbinar. Karena sifat miko yang santai, dia tidak pernah menganggap serius sahabatnya. Zaki bangga menjadi atlet sekaligus pintar.