Tiwi meraih cabang kayu yang lain. Bahunya sakit, dan dia nyaris tak bisa melihat tumpukan tinggi di tangannya saat pikirannya melayang kembali ke rumah. Dia sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa akan terdampar dan terpisah dari orang tuanya. Dia yakin orang tuanya khawatir setengah mati.
Bagaimana liburan yang harusnya menyenangkan menjadi seperti ini?
"Hei, lu butuh dibantuin, nggak?" Otot bisep Zaki menonjol saat dia menarik batang kayu berat yang tertanam di lantai hutan.
"Nggak. Aku biasa angkat beban berat, kok." Tiwi mencoba menyembunyikan getaran dalam suaranya, tetapi tak berhasil. Dia tidak ingin dicap sebagai gadis yang cengeng dan tak berdaya.
Zaki melepaskan batang kayu dan memanggil Miko. "Bro, ingat, ya  kita butuh api buat masak makanan. Kalau lu nggak bantuin, Tiwi dan gue makan ikan panggang panas-panas, lu---" Dia berhenti untuk efek dramatis dan kemudian melanjutkan, "Gue rasa lu pasti suka sushi."
"Ewww, jijay!" Tiwi tersenyum lemah, berterima kasih atas pengalihannya. Zaki selalu tahu bagaimana mengalihkan pikirannya yang galau. Dia menoleh dan melihat Miko tersenyum lebar.
"Ikan mentah dingin?" dia bertanya. "Siapa takut? Lu tahu gue nggak pernah takut untuk nyobain segala sesuatuny paling nggak sekali seumur hidup." Dia kemudian berjalan menuju pantai dan membawa batang kayu.
"Tunggu aku datang! Tanganku hampir copot." Tiwi merunduk di bawah jalinan tanaman merambat dan berjalan keluar dari hutan.
"Hei, sepertinya kita jauh dari pantai," kata Miko.
Tiwi mengangguk. "Ya, itu menjelaskan mengapa kita tidak mendengar suara sungai waktu pertama kali sampai di sini. Ditambah bunyi ombak, kicau burung, dan serangga yang berisik."
Saat Miko terhuyung-huyung ke depan, langkah kakinya memancarkan cahaya. "Wow! Mik, lihat pasirnya."