Aku bukan pecinta seni. Aku tidak tahu bagaimana bereaksi terhadap semburan warna di atas kanvas. Atau menghargai sapuan kuas halus di atas kertas. Namun, malam ini, secara kebetulan aku melihat lukisanmu.
Ketika itu hujan turun dan aku tidak punya payung. Jadi aku masuk ke balik pintu terdekat yang terbuka.
Saat aku menyapu tetesan air hujan dari jaketku, aku melihat sekeliling. Yang kumasuki ternyata galeri seni, dan kamu di sana, tersenyum padaku. Seperti mendesakku untuk datang dan melihat karya senimu.
Aku ragu. Aku tidak ingin bergerak atau membuat suara yang sesuai. Atau melakukan kontak mata denganmu.
Aku punya banyak hal lain yang harus dilakukan. Tapi kamu tampak begitu sendirian di ruang ini. Sangat membutuhkan penghargaan sehingga aku berjalan mengelilingi ruangan.
Kamu melukis pemandangan lokal. Pasar tradisional. Simpang lima. Tebing dan pantai tampaknya menjadi subjek favoritmu.
Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat.
Lukisan dengan judul 'Studi tentang seorang anak laki-laki dengan pesawat terbang.'
Aku melihat lebih dekat dan napasku berhenti. Aku menoleh untuk melihatmu. Apakah kamu seorang penyihir yang memikatku untuk datang ke sini?
"Di mana Anda membuat lukisan ini?" Aku bertanya.
"Tanjung Lesung," katamu.
Aku mengangguk. Aku sudah tahu itu. "Dan bocah ini?"
"Anakku," katamu. "Dengan pesawat mainan barunya. Saya melukis potretnya setiap tahun, pada hari ulang tahunnya."
"Dua puluh dua Desember," kataku.
Matamu melebar. Aku mengangkat bahu dan menunjuk ke lukisan itu.
"Anda telah melukis saya ke dalam gambar Anda," kataku. "Di sana, di kejauhan, itulah kami."
Handaka dan aku.
Mulutmu menganga. Aku memalingkan muka. Aku ingat setiap menit hari itu.
"Hari bahagia terakhir kami bersama," bisikku.
Aku tidak akan pernah melupakannya. Kami piknik. Kami minum soda dan makan astroberi yang kami petik dari Lembang. Kami berenang di laut. Kami tertawa tanpa memikirkan masa depan.
Aku menatap langsung ke mata abu-abu lautmu. Tidak ada masa depan dan kita tahu itu.
Handaka pergi segera setelah itu. Setidaknya kami sempat mengucapkan selamat tinggal.
Suasana menjadi canggung saat kita mencoba menghindari tatapan satu sama lain.
 "Tapi terima kasih," kataku akhirnya. "Anda tanpa sadar telah mengabadikan momen yang indah. Anda telah membuat kami abadi."
Aku menyentuh sapuan kuas kasar di kanvas. Aku merasakan gumpalan cat yang mendefinisikan cinta dalam hidupku. Dia merasa hidup, siap untuk menerjang air sedingin es. Aku merasakan tulang belakangku menggigil. Aku mendengar angin di rambutku dan deburan ombak. Burung camar menjerit dan berputar-putar di atas kepala. Aku mencicipi soda dan stroberi dan ciumannya di mulutku.
Aku mengikutinya dan melompat menerjang ombak.
Kamu menyentuh bahuku. Aku berbalik.
"Begitulah Handaka," kataku. Muncul di tempat yang paling tak terduga dan mengejutkanku.
Aku tersenyum dan keluar menembus hujan untuk melanjutkan hari-hariku.
Bandung, 26 Januari 2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI