"Oh, Miko, aku tahu betapa berartinya ini bagimu." Tiwi menyentuh kalung itu dan memejamkan mata. Benda itu sangat berharga bagi Miko. Bahwa dia mempercayainya dengan miliknya yang paling berharga, meedali untuk keberanian, ketahanan, dan kelangsungan hidupnya. Suara Tiwi bergetar saat mengucapkan terima kasih padanya.
"Gue akan kembali," kata Zaki. "Gue ke hutan buat nyari air tawar."
"Apa?" Tiwi meraih lengannya dan melihat rona merah di pipinya. "Kamu bilang kita harus tinggal di sini."
Tanpa menatap mata Tiwi, Zaki menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan. "Jangan khawatir. Gue nggak akan pergi jauh."
Dia berbalik dan pergi.
Mengapa Zaki terlihat kesal? Karena Miko mengizinkannya memakai kalungnya? Memangnya salah?
Miko berlari mengejarnya sambil menyeret Tiwi. "Pergi nggak ngajak-ajak? Nggak segampang itu, bro! Gue udah dari tadi pengin menjajah tempat ini."
"Ya, aku juga ikut." Tiwi takkan membiarkan Zaki tertular virus tropis atau flu sendirian. Selain itu, dia tidak begitu suka membayangkan tinggal di pantai yang dipenuhi serangga mutan tanpa sebotol kaleng Baygon atau Raid semprot.
BERSAMBUNG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H